Penulis : Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM
Salah kaprah atau Ketidak-pedulian?
Dalam dua tulisan terdahulu : YANG TERLEWATKAN DARI KTSP dan SEHABIS KTSP LALU APA? SKS! penulis telah memaparkan secara teknis upaya-upaya untuk memahami grand design pendidikan kita yang menyatu dengan langkah-langkah untuk mencapai kriteria Sekolah Mandiri. Dalam tulisan itu penulis juga mensyaratkan penerapan KTSP secara benar (melalui penyusunan Dokumen I dan Dokumen II seperti yang termaktub dalam Permen No. 22/2006, Permen No. 23/2006 dan Permen No. 24/2006 bulan April 2006) serta perlunya pembenahan manajemen sekolah (melalui Permen No. 19/2007 bulan Mei 2007 tentang MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Namun amat disayangkan bahwa kita hanya mengikutinya sepotong-sepotong sehingga sekolah-sekolah kita terjebak dalam pola kebiasaan lama, tak ada upaya menuju perubahan, terobosan dan revitalisasi seperti yang telah penulis uraikan dalam dua tulisan terdahulu. Mengapa ini semua terjadi? Karena kita selalu bergerak dalam tataran wacana sedangkan rangkaian Peraturan Mendiknas (Permen) itu membutuhkan langkah-langkah teknis implementasi konkrit di lapangan. Meskipun penulis sudah menengarahi KTSP sebagai revolusi dalam dunia pendidikan kita, tapi sekolah-sekolah Katolik tetap melihatnya secara adem ayem saja. Apa sebabnya? Filosofi perubahan ini tak tertangkap, yaitu perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam dunia pendidikan kita dapat diaudit secara jelas dan terukur. Kompetensi guru dan siswa harus dapat diaudit, begitu pula kinerja sekolah dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan guru) harus dapat diaudit secara jelas dan terukur.
Kesalah-pahaman dan kesalah-kaprahan
Bila sekolah-sekolah tidak menyusun KTSP menurut 15 langkah standar minimal yang disyaratkan oleh para pakar disain kurikulum (Bloom, Peter W. Airisian, Mills dll) maka benang merah antara KTSP dan MBS tak akan terlihat. Rumusan Visi dan Misi sekolah hanya akan menjadi penghias dinding ruang Kepala Sekolah saja sedangkan para guru bekerja menurut polanya sendiri-sendiri. Disiplin makin merosot dan pendidikan budi pekerti tetap terabaikan (orang hanya berbicara tentang pendidikan nilai yang diseminarkan dan tak membumi). Seluruh stakeholders akan terjebak dalam kesalah-pahaman yang fatal yaitu menganggap KTSP sebagai urusan administrasi (manajemen kurikulum) guru semata, bukan urusan pembenahan manajemen sekolah. Transparansi dan akuntabilitas hanya dipahami sebagai penilaian hard competency (cepatnya membagi hasil ulangan/test kognitif saja) tanpa melihat potensi soft competency (psikomotorik dan afektif) yang terpendam dalam diri siswa. Akibatnya akan muncul kesalah-kaprahan massal yaitu menganggap pengadopsian tata cara terapan manajemen kurikulum sebagai suatu terobosan baru seperti :
penggunaan SMS (sistim manajemen sekolah) yang tak lebih adalah pelaporan nilai ulangan/test kognitif secara on-line, atau
SAS (sistim administrasi sekolah) yang tak lebih adalah pelaporan silabus dan hasil pembelajaran dalam suatu bank data yang tersentralisir dan dapat diakses publik (namun proses pemelajaran (yang sangat berbeda dengan proses pembelajaran) yang sangat penting dalam penyusunan KTSP malah tak terakomodasi dalam SAS), atau
SIMS (sistim informasi manajemen sekolah) dan SIMDIKDU (sistim informasi pendidikan terpadu) yang tak lebih dari penyatuan data informasi siswa, kurikulum dan rapor serta data kelengkapan infrastruktur sekolah yang biasanya tersimpan dalam bank data sekolah di server yayasan menjadi terbuka dan dapat diakses publik (namun hal ini tidak menjawab pertanyaan bagaimana cara mengaudit kinerja sekolah dan kinerja semua tenaga kependidikan (kepala sekolah/wakil kepala sekolah dan guru) melalui SIMS/SIMDIKDU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar