Kamis, 20 November 2008 | 18:46 WIB
BANDUNG, KAMIS — Kurikulum tingkat satuan pendidikan yang saat ini diterapkan perlu dievaluasi. Idealnya, kurikulum itu juga mampu memprediksi kebutuhan tenaga kerja di masa depan seperti halnya diterapkan di Malaysia dan sejumlah negara maju lainnya.
Demikian pokok pemikiran yang muncul dalam Seminar Pengembangan Model Evaluasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kamis (20/11) di Gedung JICA Universitas Pendidikan Indonesia. Hadir pembicara pakar kurikulum dari UPI, Universiti Malaya, Malaysia, dan Pusat Kurikulum Depdiknas RI.
Said Hamid Hasan, pakar kurikulum UPI, mengatakan, kurikulum adalah suatu hal yang bersifat dinamis. Menyesuaikan kebutuhan dan tren zaman. "Untuk itu, tidak ada salahnya kurikulum tiap periode disesuaikan. Kalau ganti menteri tidak ganti kurikulum, itu namanya menteri bodoh," ucapnya.
Hanya, kurikulum itu hendaknya tidaklah sekedar menitikberatkan aspek kognitif, apalagi yang sifatnya hanya ingatan dan komprehensi (comprehension) semata. "Inikan suatu masalah. Murid tidak diuji bagaimana memahami. Pendidikan moral misalnya, itu mesti lebih diarahkan ke kognisi. Isinya definisi-definisi. Tetapi, bagaimana caranya agar mereka bisa mengembangkan nilai-nilai itu dalam praktik, nyaris tidak ada," tuturnya.
Di dalam seminar ini, pakar kurukulum dari Malaysia, Saidah Siraj dan Zhaharah Husein berpendapat, di masa-masa mendatang, aspek softskill jauh dibutuhkan daripada kemampuan teknis dan kecerdasan SDM. Softskill yang berupa penguasaaan komunikasi, watak baik, dan kecerdasan emosional, menjadi hal unik yang membedakan dengan SDM lainnya. "Di tempat kami, siswa sejak dini diajarkan softskill dan entrepenurship," tutur Zhaharah.
Bahkan, seperti halnya di Amerika Serikat dan Qatar, pakar-pakar di Universiti Malaya kini tengah merancang kurikulum masa depan yang menggunakan bantuan sistem Delphie dan Cross Impact Analysis (CIA). Sistem ramalan kurikulum i ni biasa diterapkan di bisnis sekuritas dan militer di AS.
Dalam tahap awal, ucap Zharahah, tim pengembang menemukan kesimpulan awal bahwa bentuk pekerjaan di masa depan (10-15 tahun ke depan) bergantung pada kondisi ekonomi bangsa, pasar SDM akan makin berkurang akibat kemajuan teknologi. "Mereka pun menyimpulkan, pendidikan di tingkat dasar (taman kanak-kanak) jauh lebih penting daripada perguruan tinggi. Makanya, di Malaysia sekarang, iuran untuk pre school (TK) bisa tiga kali lipat lebih mahal dari universitas," ucapnya.
Hermana Soemantrie, dari Pusat Kurikulum Depdiknas RI membenarkan, KTSP setelah diterapkan dua tahun perlu dievaluasi efektivitasnya. Namun, terbatasnya pakar dalam bidang evaluasi kurikulum menjadi salah satu kendala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar