Kompas.kom
Sabtu, 09 April 2005
MEANG(30), warga Siem Reap, Kamboja, masih ingat ketika pergolakan sipil terkadang masih meletup. Terekam di benaknya ketika dia tidak dapat pergi bersekolah selama berminggu-minggu. Di mana-mana hanya letusan senjata yang terdengar.
DI SAAT seperti itu, ibu Meang biasanya mempercepat memasak makanan untuk seluruh keluarga dan kemudian mereka masuk ke bungker yang memuat 5-6 orang. Mereka tidur di ruang sempit bawah tanah itu sampai pagi.
"Demikian setiap hari sampai keadaan mereda. Malam hari berbahaya," kata Meang yang saat itu (1980-an) tinggal di sebuah dusun di Provinsi Siem Reap.
Pria yang sekarang menjadi sopir sewaan turis tersebut bahkan masih merasa beruntung dibandingkan dengan warga di perbatasan, terutama daerah dekat Thailand. Menurut Meang, di perbatasan baku tembak lebih sering pecah.
"Barangkali mereka yang hidup di kota seperti Phnom Penh tidak separah kami yang berada di pedesaan atau perbatasan, di mana letusan senjata terkadang begitu dekat di telinga. Jangan dibandingkan pendidikan kami di desa dengan yang di perkotaan. Kami yang di desa jauh tertinggal," katanya lagi.
Belum lagi ancaman ranjau darat yang siap merenggut langkah riang anak-anak. Dengan kondisi perang itulah Meang hanya menamatkan pendidikan sampai SMP. Tapi, menurutnya, itu masih lebih baik karena banyak anak yang akhirnya tidak dapat menamatkan pendidikan dasar sekalipun.
Meang yang sederhana dengan yakin mengatakan perang dan konflik membuat Kamboja menderita. "Kami sudah kenyang dengan perang. We have enough war," katanya.
SUNGGUH mahal harga yang harus dibayar dari sebuah konflik berkepanjangan. Setelah merdeka dari penjajahan Perancis, tahun 1953, Kamboja menjadi ajang perang antara berbagai pihak: Vietnam, Amerika Serikat, dan tentara Khmer Merah yang menyisakan cerita pembantaian sekitar 1,7 juta orang Kamboja. Perang sipil meletus pada 1970-an dan terus berlanjut hingga 1980-an. Bahkan, sampai akhir 1990-an tetap terjadi letupan-letupan.
Masa depan yang tergadaikan oleh perang itulah yang sekarang tengah ditebus oleh masyarakat Kamboja.
Perdana Menteri Kamboja Samdech Hun Sen dalam forum internasional 7th East Asia and Pacific Ministerial Consultation Meeting on Children di Siem Reap, akhir Maret lalu, mengungkapkan, setidaknya dibutuhkan waktu 29 tahun untuk memulihkan Kamboja pascaperang dan konflik.
Pascakonflik, kemiskinan jadi sumbu permasalahan. Mengutip dokumen Education for All National Plan 2003-2015 Kamboja, Human Poverty Index (HPI) di Kamboja berdasarkan versi United Nations Development Programme (UNDP) mencapai skor 42,5 persen. Sebagai perbandingan, rata-rata skor HPI negara berkembang di Asia Tenggara dan Asia Timur sekitar 25 persen. Performa penyelesaian pendidikan dasar, kesehatan, akses pelayanan sanitasi, dan gizi anak menyumbang rendahnya HPI.
Belum lagi kesenjangan sosial antara kota dan pedesaan. Masyarakat perkotaan berkesempatan memperoleh pendidikan lebih tinggi. Warga di ibu kota negara, Phnom Penh, menghabiskan 12 kali waktu lebih banyak untuk pendidikan.
Setelah situasi politik dan keamanan stabil belakangan ini, Kamboja seperti orang yang tengah bangun dari tidurnya. Dalam geliat itulah pendidikan sudah disadari sebagai infrastruktur yang sangat penting guna mengejar ketertinggalan selama ini.
Menteri Pendidikan, Pemuda, Olahraga Kamboja Kol Pheng mengungkapkan, telah dirumuskan tiga pilar pembangunan dan pendidikan yang merupakan salah satu pilar strategis bersama dengan kesehatan dan pembangunan ekonomi.
"Pendidikan termasuk yang terpenting karena sumber daya manusia merupakan kunci dan tulang punggung dari pembangunan ekonomi. Sekarang ada 3,5 juta murid di SD dan SMP, serta 50.000 siswa SMA. Jumlah partisipan pendidikan dasar melonjak setelah mandat mengutamakan pendidikan," katanya.
Selama rezim Khmer Merah, sumber daya manusia seperti profesor, pekerja intelektual, dan dokter sebagian besar terbunuh. Hanya segelintir yang tersisa. Karena itu, Kamboja memutuskan fokus merekonstruksi sumber daya manusia. Mereka percaya sumber daya manusia komponen terpenting dalam peradaban.
Pendidikan dirancang untuk jangka panjang dan pendek. Untuk jangka panjang ada National Educational Plan dengan target utama memenuhi hak pendidikan semua anak hingga grade 12 (SMA) pada 2015.
Konstitusi negara juga mengamanatkan bahwa pemerintah harus menyediakan pendidikan gratis untuk semua anak Kamboja sehingga tidak ada satu anak pun yang tertinggal. Semua harus berangkat ke sekolah, terutama dari tingkat 1-9 (SD hingga SMP).
Sebagai pendukung dalam rencana jangka pendek 2004-2008, terumus rencana pembiayaan dan sistem manajemen. Dicantumkan, pembiayaan pendidikan berpihak kepada orang miskin agar hambatan untuk bersekolah semakin kecil. Untuk itu, pemerintah membiayai anggaran operasional sekolah, terutama SD, sekaligus penghapusan semua biaya tak resmi.
Dengan kebijakan tersebut warga dapat menempuh pendidikan gratis di sekolah negeri. Bahkan, kata Kol Pheng, warga tidak perlu membayar untuk menempuh pendidikan tinggi di universitas negeri. Hanya saja, kursi yang tersedia terbatas dan diseleksi ketat sehingga sebagian besar menempuh pendidikan di universitas swasta dan terpaksa membayar.
So Pal, seorang arkeolog di Siem Reap, mengakui memang warga Kamboja tak perlu bayar uang sekolah untuk pendidikan anaknya yang duduk di SD negeri. "Hanya saja, terkadang ada oknum guru yang memberikan les wajib kepada anak- anak untuk memperoleh tambahan penghasilan. Kalau tidak mengikuti nilai anak terancam. Tetapi, itu karena guru-guru dibayar sedikit," katanya.
Perhatian Pemerintah Kamboja pada pendidikan memang luar biasa. Anggaran pendidikan terus ditingkatkan dan kini mencapai 19 persen dari anggaran belanja negara. Sebelumnya, sektor pertahanan nasional mendapatkan anggaran besar. Akan tetapi, sejak tidak perang anggaran pertahanan dikurangi dan pemerintah memprioritaskan pada pembangunan pendidikan dan kesehatan.
Kol Pheng yakin segala upaya tersebut membuat Kamboja semakin membaik. Walaupun disadari pula, pada saat Kamboja berbenah, saat itu pula negara lain terus membangun diri pula. Perang dan konflik mau tidak mau diakui sempat menahan langkah mereka di antara bangsa-bangsa yang terus berlari. (indira Permanasari)
Minggu, 31 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar