Senin, 7 April 2008 | 15:44 WIB
JAKARTA, SENIN - Ujian Nasional (UN) sebagai standar mutu pendidikan hendaknya diikuti dengan peningkatan sarana dan prasarana sekolah serta tenaga guru. Jika tidak standar mutu yang ditetapkan selalu minimalis. Demikian komentar Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komarudin Hidayat terhadap UN saat ditemui dalam acara peluncuran Program Open, Distance and E-Learning untuk Transformasi Masyarakat Islam Melalui Pesantren di Hotel Nikko, Jakarta, Senin (7/4).
"Menurut saya jika penetapan standar tidak diikuti fasilitas sarana dan guru, maka implikasinya UN standarnya tidak naik-naik, selalu minimalis, selalu kalah bersaing dengan negara lain," kata Komarrudin.
Penyelenggaraan UN tanpa melengkapi sarana dan prasarana di seluruh wilayah Indonesia, lanjut Komarrudin juga merupakan ketidakadilan bagi mereka yang tidak memiliki fasilitas dan tenaga guru yang memadai. "Seperti sekolah-sekolah di daerah terpencil yang bangunannya tidak layak, gurunya cuma satu, sekolahnya bocor, kalau diperlakukan sama, yah kasihan," katanya.
Saat ditanya tentang pro kontra UN dijadikan sebagai syarat kelulusan, Komarrudin menjawab, "Karena (UN) sudah berjalan, kita ikuti saja, lalu disurvei plus-minusnya. Kalau saya belum bisa (memilih pro atau kontra) karena saya belum punya data-data yang akurat. Kita nggak bisa ngomong pernyataan politik tanpa ada data yang akurat, kalau selama ini kecenderungan orang kan hanya opini."
Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan saat ini tidak ada keresahan dalam masyarakat mengenai UN, semua pihak mendukung. "Tidak ada keresahan, yang ada kesigapan. Saya baca dimana-mana, baik koran pusat dan daerah, pemerintah daerah maupun orang tua supaya memberikan dukungan yang resahkan cuma wartawan," ujarnya.
Minggu, 31 Mei 2009
Tim PKK Lamongan bantu sarana pendidikan TK
Selasa, 10 Juni 2008 | 16:07 WIB
LAMONGAN, SELASA - Tim Penggerak Program Kesejahteraan Keluarga Selasa (10/6) memberikan bantuan bantuan dana pengadaan sarana dan prasarana pendidikan tingkat Taman Kanak-kanak di Kecamatan Karanggeneng. Bantuan yang diberikan berupa mainan mandi bola dan cangkir putar serta bantuan pada Posyandu di Desa Mertani.
Bantuan kali ini diberikan kepada (TK) Mekar Sari di Desa Kawistolegi dan TK Jaya di Desa Jagran. Bantuan dana untuk penggadaan alat peraga diberikan kepada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nusa Indah di Desa Kawistolegi. Selain itu bantuan diberikan untu k TK PKK Sejahtera dan bantuan dana perbaikan dan pembinaan kulintang PKK di Desa Mertani.
Sebelumnya Tim Penggerak PKK Lamongan juga telah memberikan bantuan serupa di Kecamatan Babat dan Modo. Ketua penggerak PKK Endang Ridjanti Masfuk berharap dengan bantuan tersebut anak-anak TK lebih semangat dan senang belajar. Dengan bantuan sarana perma inan diharapkan anak-anak TK lebih dapat ditingkatkan kreatifitas dan kecerdasan berpikirnya.
Bantuan yang diberikan merupakan bentuk apresiasi PKK terhadap pendidikan dini dan komitmen meningkatkan pendidikan di Lamongan. "Masa taman kanak-kanak merupakan masa keemasan anak dan peran pendidikan begitu besar dalam membentuk anak didik. Maka kami m emberikan dukungan pendidikan berupa dana pengadaan sarana dan prasarana untuk TK, " kata Endang.
LAMONGAN, SELASA - Tim Penggerak Program Kesejahteraan Keluarga Selasa (10/6) memberikan bantuan bantuan dana pengadaan sarana dan prasarana pendidikan tingkat Taman Kanak-kanak di Kecamatan Karanggeneng. Bantuan yang diberikan berupa mainan mandi bola dan cangkir putar serta bantuan pada Posyandu di Desa Mertani.
Bantuan kali ini diberikan kepada (TK) Mekar Sari di Desa Kawistolegi dan TK Jaya di Desa Jagran. Bantuan dana untuk penggadaan alat peraga diberikan kepada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nusa Indah di Desa Kawistolegi. Selain itu bantuan diberikan untu k TK PKK Sejahtera dan bantuan dana perbaikan dan pembinaan kulintang PKK di Desa Mertani.
Sebelumnya Tim Penggerak PKK Lamongan juga telah memberikan bantuan serupa di Kecamatan Babat dan Modo. Ketua penggerak PKK Endang Ridjanti Masfuk berharap dengan bantuan tersebut anak-anak TK lebih semangat dan senang belajar. Dengan bantuan sarana perma inan diharapkan anak-anak TK lebih dapat ditingkatkan kreatifitas dan kecerdasan berpikirnya.
Bantuan yang diberikan merupakan bentuk apresiasi PKK terhadap pendidikan dini dan komitmen meningkatkan pendidikan di Lamongan. "Masa taman kanak-kanak merupakan masa keemasan anak dan peran pendidikan begitu besar dalam membentuk anak didik. Maka kami m emberikan dukungan pendidikan berupa dana pengadaan sarana dan prasarana untuk TK, " kata Endang.
Minim perpustakaan di tingkat dasar
Kompas/LASTI KURNIA
/
Selasa, 13 Januari 2009 | 22:52 WIB
JAKARTA, SELASA - Fasilitas perpustakaan sebagai salah satu sarana dan prasarana di sekolah yang penting untuk meningkatkan mutu pendidikan masih rendah. Kondisi perpustakaan yang memprihatinkan, baik soal ruangan perpustakaan maupun koleksi buku-buku yang tersedia, justru terjadi di tingkat pendidikan dasar.
Dari data Departemen Pendidikan Nasional, pada 2008 tercatat baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP sebanyak 63,3 persen. Pada tahun ini, pemerintah menargetkan penambahan ruang perpustakaan di sekolah-sekolah pada jenjang pendidikan dasar sekitar 10 persen.
Yanti Sriyulianti, Koordinator Education Forum, di Jakarta, Selasa (13/1), mengatakan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai standar nasional merupakan tanggung jawab pemerintah. Masyarakat bisa menuntut pemerintah pusat dan daerah jika terjadi kesenjangan mutu pendidikan akibat sarana dan prasarana yang timpang di antara perkotaan dan pedesaan atau di antara sekolah-sekolah yang ada.
Perpustakaan yang merupakan salah satu tempat untuk siswa dan guru mencari sumber belajar belum dianggap penting. Keberadaan perpustakaan hanya sekadar memenuhi syarat tanpa memperhatikan bagaimana seharusnya fasilitas perpustakaan disediakan dan bagaimana menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa dan guru untuk menumbuhkan minat baca.
Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan, mengatakan pendidikan dasar di Indonesia yang diamanatkan konstitusi untuk menjadi prioritas pemerintah masih berlangsung ala kadarnya. Pemerintah masih berorientasi pada menegejar angka statistik soal jumlah anak usia wajib belajar yang bersekolah, sedangkan mutu pendidikan dasar masih minim.
Padahal, soal sarana dan prasarana pendidikan di setiap sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang standar nasional sarana dan prasarana. Peraturan ini memberi arah soal keberadaan perpustakaan di setiap sekolah.
/
Selasa, 13 Januari 2009 | 22:52 WIB
JAKARTA, SELASA - Fasilitas perpustakaan sebagai salah satu sarana dan prasarana di sekolah yang penting untuk meningkatkan mutu pendidikan masih rendah. Kondisi perpustakaan yang memprihatinkan, baik soal ruangan perpustakaan maupun koleksi buku-buku yang tersedia, justru terjadi di tingkat pendidikan dasar.
Dari data Departemen Pendidikan Nasional, pada 2008 tercatat baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP sebanyak 63,3 persen. Pada tahun ini, pemerintah menargetkan penambahan ruang perpustakaan di sekolah-sekolah pada jenjang pendidikan dasar sekitar 10 persen.
Yanti Sriyulianti, Koordinator Education Forum, di Jakarta, Selasa (13/1), mengatakan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai standar nasional merupakan tanggung jawab pemerintah. Masyarakat bisa menuntut pemerintah pusat dan daerah jika terjadi kesenjangan mutu pendidikan akibat sarana dan prasarana yang timpang di antara perkotaan dan pedesaan atau di antara sekolah-sekolah yang ada.
Perpustakaan yang merupakan salah satu tempat untuk siswa dan guru mencari sumber belajar belum dianggap penting. Keberadaan perpustakaan hanya sekadar memenuhi syarat tanpa memperhatikan bagaimana seharusnya fasilitas perpustakaan disediakan dan bagaimana menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa dan guru untuk menumbuhkan minat baca.
Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan, mengatakan pendidikan dasar di Indonesia yang diamanatkan konstitusi untuk menjadi prioritas pemerintah masih berlangsung ala kadarnya. Pemerintah masih berorientasi pada menegejar angka statistik soal jumlah anak usia wajib belajar yang bersekolah, sedangkan mutu pendidikan dasar masih minim.
Padahal, soal sarana dan prasarana pendidikan di setiap sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang standar nasional sarana dan prasarana. Peraturan ini memberi arah soal keberadaan perpustakaan di setiap sekolah.
Sarana pendidikan di kulon progo jauh tertinggal
Kompas
Sabtu, 14 Oktober 2006 Infrastruktur
Kulon Progo, Kompas - Dibandingkan dengan daerah lain di DI Yogyakarta, sarana pendidikan di Kulon Progo masih jauh tertinggal, baik segi fisik bangunan maupun sarana lainnya. Selama ini dana sarana pendidikan hanya bergantung pada anggaran pemerintah karena masih minimnya kontribusi NGO atau lembaga donor ke kabupaten tertinggal tersebut.
Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pendidikan Kulon Progo Sigit Wisnutomo, Jumat (13/10), mengatakan hanya ada satu bantuan dari NGO, yakni dari Swiss ke SMP 1 Galur sebesar Rp 250 juta. "Sebenarnya banyak NGO yang ke sini tetapi hanya sebatas kegiatan penelitian saja. Belum banyak yang berkontribusi dalam pengadaan sarana pendidikan," katanya.
Menurut Sigit, sebagian besar bangunan sekolah di Kulon Progo sudah tidak layak pakai dan butuh rehab segera, terutama gedung SD. Tidak mengherankan jika saat gempa 27 Mei lalu tercatat 213 gedung SD yang rusak. Namun, dari data keseluruhan tersebut masih ada 169 gedung SD yang sumber dana rehabnya belum jelas.
Kepala Seksi Sarana dan Prasarana TK/SD Dinas Pendidikan Kulon Progo Sapturyani mengemukakan, 20 gedung SD di antaranya akan menerima dana rehab masing-masing sekitar Rp 800 juta dari Pemprov DIY. Selain gedung yang rusak akibat gempa, masih ada 104 gedung SD yang butuh segera direhab. Jarang tersentuh
Kepala Biro Kerjasama Pemerintah Provinsi DIY Sudaryomo Hartosudarmo mengakui Kulon Progo jarang tersentuh bantuan. Selama ini bantuan dari luar mayoritas tersalur ke Bantul. Padahal, pemerintah sudah menginformasikan ke pihak yang akan membantu bahwa semua kabupaten/kota di DIY juga terkena dampak bencana gempa.
"Tetapi, karena kita ada di pihak penerima, tidak etis kalau memaksakan donatur membantu di satu wilayah. Dan, perlu diketahui, hampir semua donatur luar negeri tahunya ya Bantul," ujarnya. Kendati demikian, pemerintah daerah tetap bisa mengubah rencana penyaluran bantuan dari luar. Namun, itu mesti dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak. (ENY/ONI)
Sabtu, 14 Oktober 2006 Infrastruktur
Kulon Progo, Kompas - Dibandingkan dengan daerah lain di DI Yogyakarta, sarana pendidikan di Kulon Progo masih jauh tertinggal, baik segi fisik bangunan maupun sarana lainnya. Selama ini dana sarana pendidikan hanya bergantung pada anggaran pemerintah karena masih minimnya kontribusi NGO atau lembaga donor ke kabupaten tertinggal tersebut.
Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pendidikan Kulon Progo Sigit Wisnutomo, Jumat (13/10), mengatakan hanya ada satu bantuan dari NGO, yakni dari Swiss ke SMP 1 Galur sebesar Rp 250 juta. "Sebenarnya banyak NGO yang ke sini tetapi hanya sebatas kegiatan penelitian saja. Belum banyak yang berkontribusi dalam pengadaan sarana pendidikan," katanya.
Menurut Sigit, sebagian besar bangunan sekolah di Kulon Progo sudah tidak layak pakai dan butuh rehab segera, terutama gedung SD. Tidak mengherankan jika saat gempa 27 Mei lalu tercatat 213 gedung SD yang rusak. Namun, dari data keseluruhan tersebut masih ada 169 gedung SD yang sumber dana rehabnya belum jelas.
Kepala Seksi Sarana dan Prasarana TK/SD Dinas Pendidikan Kulon Progo Sapturyani mengemukakan, 20 gedung SD di antaranya akan menerima dana rehab masing-masing sekitar Rp 800 juta dari Pemprov DIY. Selain gedung yang rusak akibat gempa, masih ada 104 gedung SD yang butuh segera direhab. Jarang tersentuh
Kepala Biro Kerjasama Pemerintah Provinsi DIY Sudaryomo Hartosudarmo mengakui Kulon Progo jarang tersentuh bantuan. Selama ini bantuan dari luar mayoritas tersalur ke Bantul. Padahal, pemerintah sudah menginformasikan ke pihak yang akan membantu bahwa semua kabupaten/kota di DIY juga terkena dampak bencana gempa.
"Tetapi, karena kita ada di pihak penerima, tidak etis kalau memaksakan donatur membantu di satu wilayah. Dan, perlu diketahui, hampir semua donatur luar negeri tahunya ya Bantul," ujarnya. Kendati demikian, pemerintah daerah tetap bisa mengubah rencana penyaluran bantuan dari luar. Namun, itu mesti dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak. (ENY/ONI)
Perpustakaan sebagai sarana penunjang tercapainya tujuan pendidikan
Oleh : Hartati, S.Pd.
Perpustakaan Sekolah dan Proses Belajar Mengajar
Kita melihat kemajuan dunia yang berputar semakin pesat, teknologi semakin maju dan pembangunan yang hebat telah dikerjakan oleh sementara orang. Dalam hal ini manusia bukan sekedar sebagai objek pembangunan, tetapi juga sebagai subjek pembangunan. Untuk itu melalui profesi perpustakaan kita ikut ambil bagian dalam “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Pembanguan adalah masalah teknologi. Dan teknologi adalah informasi. Sedangkan informasi adalah masalah perpustakaan. Demikianlah urutan yang dapat kami simpulkan. Tidak mungkin kita memiliki teknologi canggih kalau kita tidak memiliki informasinya. Semakin maju teknologi, semakin banyak informasi yang kita perlukan. Informasi dari berbagi teknologi yang kita perlukan dalam pembangunan tersebut harus menyertainya, kalau tidak teknologi tersebut akan cacat. Dan jika demikian pembangunan akan gagal. Kita mamiliki sebuah televise yang canggih, tetapi tidak ada informasi yang menyertainya, kemungkinan kita akan memperoleh kesulitan kalau ingin mengganti sparepart, atau ingin memainkan video, karena buku petunjuknya tidak ada. Karena itu informasi harus menyertai sebuah teknologi. Kadang-kadang kita enggan menyimpan informasi demi informasi, sebab kalau kita kumpulkan semakin banyak semakin menjadi beban. Sebaiknya berbagi informasi itu dikumpulkan di sebuah tampat yang disebut sebagi perpustakaan. Sumber informasi di perpustakaan diolah dan diatur sehingga mudah menemukan kembali untuk dipakai, walaupun perpustakaan masih kecil sumber informasinya tetap kita olah sesuai dengan standar, dan akhirnya jika perpustakaan menjadi besar, layanan akan tetap baik dan lancar.
Dalam hal ini kita sorot keberadaan perpustakaan sekolah, sebagai suatu lembaga yang akan memberikan dasar dari segala dasar. Perpustakaan sekolah diharapkan dapat menemukan kembali mutu pendidikan dasar, menjadi dasar bagi pendidikan berikutnya atau menjadi bekal utama dalam menempuh kehidupan. Kita sering mendengar mutu guru yang demikian merosot. Mutu tersebut dapat kita naikkan jika kita mau menengok ke perpustakaan, disana ada harapan. Dari perpustakaan sekolah ini diharapkan guru mau belajar lagi membaca apa yang berhubungan dengan masalah belajar mengajar. Berbagi metode mengajar yang paling efektif untuk masa kini. Di perpustakaan sekolah anak dapat mengembangkan minat mereka, mencari bacaan yang memperkaya pengalaman melalui bacaaan yang tersedia. Melalui perpustakaan sekolah diharapkan anak dapat mengembangkan ketrampilan untuk mencari informasi guna keperluan mereka secara mandiri. Mereka kita berikan wawasan mengenai “era informasi”, “era globalisasi”. Kita berikan cara mengatasi hidup di dalam kedua era tersebut.dan dalam hal ini perpustakaan menjawab kedua tantangan tersebut.
Perpustakaan Sekolah dan Proses Belajar Mengajar
Kita melihat kemajuan dunia yang berputar semakin pesat, teknologi semakin maju dan pembangunan yang hebat telah dikerjakan oleh sementara orang. Dalam hal ini manusia bukan sekedar sebagai objek pembangunan, tetapi juga sebagai subjek pembangunan. Untuk itu melalui profesi perpustakaan kita ikut ambil bagian dalam “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Pembanguan adalah masalah teknologi. Dan teknologi adalah informasi. Sedangkan informasi adalah masalah perpustakaan. Demikianlah urutan yang dapat kami simpulkan. Tidak mungkin kita memiliki teknologi canggih kalau kita tidak memiliki informasinya. Semakin maju teknologi, semakin banyak informasi yang kita perlukan. Informasi dari berbagi teknologi yang kita perlukan dalam pembangunan tersebut harus menyertainya, kalau tidak teknologi tersebut akan cacat. Dan jika demikian pembangunan akan gagal. Kita mamiliki sebuah televise yang canggih, tetapi tidak ada informasi yang menyertainya, kemungkinan kita akan memperoleh kesulitan kalau ingin mengganti sparepart, atau ingin memainkan video, karena buku petunjuknya tidak ada. Karena itu informasi harus menyertai sebuah teknologi. Kadang-kadang kita enggan menyimpan informasi demi informasi, sebab kalau kita kumpulkan semakin banyak semakin menjadi beban. Sebaiknya berbagi informasi itu dikumpulkan di sebuah tampat yang disebut sebagi perpustakaan. Sumber informasi di perpustakaan diolah dan diatur sehingga mudah menemukan kembali untuk dipakai, walaupun perpustakaan masih kecil sumber informasinya tetap kita olah sesuai dengan standar, dan akhirnya jika perpustakaan menjadi besar, layanan akan tetap baik dan lancar.
Dalam hal ini kita sorot keberadaan perpustakaan sekolah, sebagai suatu lembaga yang akan memberikan dasar dari segala dasar. Perpustakaan sekolah diharapkan dapat menemukan kembali mutu pendidikan dasar, menjadi dasar bagi pendidikan berikutnya atau menjadi bekal utama dalam menempuh kehidupan. Kita sering mendengar mutu guru yang demikian merosot. Mutu tersebut dapat kita naikkan jika kita mau menengok ke perpustakaan, disana ada harapan. Dari perpustakaan sekolah ini diharapkan guru mau belajar lagi membaca apa yang berhubungan dengan masalah belajar mengajar. Berbagi metode mengajar yang paling efektif untuk masa kini. Di perpustakaan sekolah anak dapat mengembangkan minat mereka, mencari bacaan yang memperkaya pengalaman melalui bacaaan yang tersedia. Melalui perpustakaan sekolah diharapkan anak dapat mengembangkan ketrampilan untuk mencari informasi guna keperluan mereka secara mandiri. Mereka kita berikan wawasan mengenai “era informasi”, “era globalisasi”. Kita berikan cara mengatasi hidup di dalam kedua era tersebut.dan dalam hal ini perpustakaan menjawab kedua tantangan tersebut.
Rencana pemanfaatan dan pengembangan laboratorium komputer
sumber Daryani’s blog
22 Desember 2008
1. Pentingnya pemanfaatan dan pengembangan Laboratorium Komputer.
a. Diharapkan dapat menfasilitasi pengembangan mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) sebagai bagian dasar pemanfaatan teknologi untuk mempersiapkan peserta didik yang memadai agar dimasa depan dapat berperan sebagai kontribusi dari penguasaan komputer.
b. Untuk menunjang proses pembelajaran yang bermutu, teratur dan berkelanjutan.
c Meningkatkan pengalaman dan keterampilan dalam mengimplementasikan penguasaan komputer pada mata pelajaran lainnya.
d. Memberikan dampak kepada siswa untuk lebih terampil mengkomunikasikan teori dengan praktik dalam PBM.
e. Memberikan pengalaman langsung kepada siswa melalui praktik-praktik lapangan.
2. Rencana pemanfaatan dan pengembangan jangka panjang.
a. Membantu siswa agar lebih mudah dalam mempelajarai fungsi, prinsip dan cara kerja komputer.
b. Mengoptimalkan pemnafaatan alat kepada semua peserta didik dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
c. Memelihara, menambah dan mengembangkan alat untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan teknologi.
3. Rencana pemanfaatan jangka menengah
a. Jika komputer terhubung dengan internet akan menjadi salah satu sumber belajar sebagai sarana untuk mengakses informasi, sebagai model pembelajaran berwawasan ke depan yang sangat bermanfaat.
b. Semua peserta didik diharapkan dapat menggunakan alat-alat dan memanfaatkan alata-alat secara optimal serta dapat mengkomunikasikan dengan keadaan nyata
c. Dengan penguasaan komputer membantu peserta didik dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah.
d. Dengan penguasaan komputer membantu peserta didik menvisualisasikan materi-materi pelajaran.
4. Rencana pemanfaatan dan pengembangan tahun 2008.
a. Laboran atau teknisi : Mengikutsertakan laboran dalam pelatihan-pelatihan/Workshop
b. PBM : Mengimplementasikan dan memanfaatkan secara optimal semua alat dalam kegiatan interaksi belajar mengajar
c. Sumber dan bahan belajar : Meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber belajar dan bahan ajar untuk ketercapaian output yang bermutu.
22 Desember 2008
1. Pentingnya pemanfaatan dan pengembangan Laboratorium Komputer.
a. Diharapkan dapat menfasilitasi pengembangan mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) sebagai bagian dasar pemanfaatan teknologi untuk mempersiapkan peserta didik yang memadai agar dimasa depan dapat berperan sebagai kontribusi dari penguasaan komputer.
b. Untuk menunjang proses pembelajaran yang bermutu, teratur dan berkelanjutan.
c Meningkatkan pengalaman dan keterampilan dalam mengimplementasikan penguasaan komputer pada mata pelajaran lainnya.
d. Memberikan dampak kepada siswa untuk lebih terampil mengkomunikasikan teori dengan praktik dalam PBM.
e. Memberikan pengalaman langsung kepada siswa melalui praktik-praktik lapangan.
2. Rencana pemanfaatan dan pengembangan jangka panjang.
a. Membantu siswa agar lebih mudah dalam mempelajarai fungsi, prinsip dan cara kerja komputer.
b. Mengoptimalkan pemnafaatan alat kepada semua peserta didik dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
c. Memelihara, menambah dan mengembangkan alat untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan teknologi.
3. Rencana pemanfaatan jangka menengah
a. Jika komputer terhubung dengan internet akan menjadi salah satu sumber belajar sebagai sarana untuk mengakses informasi, sebagai model pembelajaran berwawasan ke depan yang sangat bermanfaat.
b. Semua peserta didik diharapkan dapat menggunakan alat-alat dan memanfaatkan alata-alat secara optimal serta dapat mengkomunikasikan dengan keadaan nyata
c. Dengan penguasaan komputer membantu peserta didik dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah.
d. Dengan penguasaan komputer membantu peserta didik menvisualisasikan materi-materi pelajaran.
4. Rencana pemanfaatan dan pengembangan tahun 2008.
a. Laboran atau teknisi : Mengikutsertakan laboran dalam pelatihan-pelatihan/Workshop
b. PBM : Mengimplementasikan dan memanfaatkan secara optimal semua alat dalam kegiatan interaksi belajar mengajar
c. Sumber dan bahan belajar : Meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber belajar dan bahan ajar untuk ketercapaian output yang bermutu.
Dongeng juga sarana pendidikan anak-anak
04-Jun-2006 03:58:31
www.monitordepok.com/pdf/edukasi
DEPOK, MONDE: Dongeng merupakan sarana pembelajaran yang bagus untuk melatih anak dan juga
perkembangan jiwa anak, dengan dongeng anak bisa lebih memiliki rasa syukur, rasa cinta dan rasa
pertemanan yang baik pada anak.
Hal itu diungkapkan Rini selaku pendongeng yang bermukim di Depok, kemarin.
Dongeng merupakan kesenian bercerita yang hampir saja punah, karena saat ini anak-anak lebih banyak
terhibur oleh acara-acara di televisi yang notabene bukan acara khusus untuk anak-anak.
Ia mengatakan kecintaannya terhadap dongeng sudah sejak lama, wujud dari kecintannya ia membuka
rumah dongeng dengan nama Koloni Kepik. Tujuan dari dibukanya rumah dongeng tersebut adalah sebagai
wadah untuk anak-anak mengenal dunia dongeng kembali.
Rini menjelaskan rumah dongeng yang dibukanya tidak dimanfaatkan sebagai bisnis, ia tidak ingin
memanfaatkan atau pun mengeksploitasi anak-anak dengan talenta yang dimiliki.
“Kalaupun ada yang memanggil saya, saya akan datang walaupun tidak dibayar, karena rumah dongeng ini
tidaklah bersifat bisnis, tetapi bersifat sosial dimana mengenalkan kembali dongeng kepada anak-anak yang
selama ini lebih banyak mendapatkan hiburan bukan khusus anak-anak,” ia menjelaskan
Ibu empat anak inipun selalu memberikan cerita dongeng kepada anak-anaknya, ia mengatakan Banyak
sekali manfaat anak mendengar dongeng, dongeng bisa membantu perkembangan anak, dan dengan
dongeng anak bisa melihat ekspresi si pendongeng dan membuat imajinasi anak bermain.(m-3)
www.monitordepok.com/pdf/edukasi
DEPOK, MONDE: Dongeng merupakan sarana pembelajaran yang bagus untuk melatih anak dan juga
perkembangan jiwa anak, dengan dongeng anak bisa lebih memiliki rasa syukur, rasa cinta dan rasa
pertemanan yang baik pada anak.
Hal itu diungkapkan Rini selaku pendongeng yang bermukim di Depok, kemarin.
Dongeng merupakan kesenian bercerita yang hampir saja punah, karena saat ini anak-anak lebih banyak
terhibur oleh acara-acara di televisi yang notabene bukan acara khusus untuk anak-anak.
Ia mengatakan kecintaannya terhadap dongeng sudah sejak lama, wujud dari kecintannya ia membuka
rumah dongeng dengan nama Koloni Kepik. Tujuan dari dibukanya rumah dongeng tersebut adalah sebagai
wadah untuk anak-anak mengenal dunia dongeng kembali.
Rini menjelaskan rumah dongeng yang dibukanya tidak dimanfaatkan sebagai bisnis, ia tidak ingin
memanfaatkan atau pun mengeksploitasi anak-anak dengan talenta yang dimiliki.
“Kalaupun ada yang memanggil saya, saya akan datang walaupun tidak dibayar, karena rumah dongeng ini
tidaklah bersifat bisnis, tetapi bersifat sosial dimana mengenalkan kembali dongeng kepada anak-anak yang
selama ini lebih banyak mendapatkan hiburan bukan khusus anak-anak,” ia menjelaskan
Ibu empat anak inipun selalu memberikan cerita dongeng kepada anak-anaknya, ia mengatakan Banyak
sekali manfaat anak mendengar dongeng, dongeng bisa membantu perkembangan anak, dan dengan
dongeng anak bisa melihat ekspresi si pendongeng dan membuat imajinasi anak bermain.(m-3)
Dampak dan manfaat internet bagi perkembangan pendidikan
November 21st, 2008
DAMPAK DAN MANFAAT INTERNET BAGI PERKEMBANGAN PENDIDIKAN
Internet merupakan produk teknologi informasi yang mampu berkembang pesat melewati batas negara dan berbagai sendi kehidupan manusia. Dunia pendidikan adalah satu bidang yang memanfaatkan internet secara luas untuk kepentingan peningkatan kualitas suatu institusi pendidikan. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam kemajuan suatu bangsa dan negara. Tanpa pendidikan yang baik, sulit untuk mencapai dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, baik secara lahir maupun batin. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi dan menentukan kemajuan dan perkembangan pendidikan. Salah satu faktor yang dapat memengaruhi perkembangan dunia pendidikan, yaitu kehadiran internet. Internet atau international networking adalah media komunikasi jarak jauh dan informasi dengan menggunakan satelit.
Internet dapat dikatakan sebagai perpustakaan maya (virtual library) yang mengandung jutaan informasi tentang berbagai hal, salah satunya termasuk data dan informasi tentang pendidikan. Internet dapat dijadikan sebagai salah satu sumber belajar alternatif bagi kalangan akademis setelah perpustakaan konvensional di lembaga pendidikan tinggi.
Selain itu manfaat yang ditimbulkan dari kehadiran internet bagi pendidikan antara lain :
1. Mempercepat dan mempermudah alih ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Proses pembelajaran lebih menarik. Melalui internet pembelajaran tidak monoton dan jenuh karena dalam internet ada hal-hal baru yang variatif dan inovatif.
3. Mendorong siswa untuk lebih aktif mencari ilmu pengetahuan dan informasi.
4. Mempermudah penjelasan konsep. Selama ini dalam materi atau bahan pelajaran disampaikan melalui metode ceramah. Dengan adanya internet, guru bisa menyampaikan konsep atau materi secara audiovisual. Pelajaran lebih nyata dan jelas, sehingga mempermudah pemahaman siswa. Hal ini dapat menghindari kebingungan pada diri siswa saat proses pembelajaran berlangsung.
5. Pembelajaran lebih konseptual dan up to date (aktual).
6. Mempermudah dan mempercepat administrasi pendidikan. Pelaksanaan proses pendidikan harus diusahakan lebih praktis dan cepat. Guru tidak terlalu disibukkan urusan administrasi yang berbelit-belit, sehingga konsentrasi lebih tertuju pada proses pembelajaran di kelas. Misalnya, dalam membuat persiapan mengajar, pengolahan nilai, dan menyebarluaskan nilai ulangan atau ujian, bisa menggunakan fasilitas komputer (internet). Dengan demikian, internet dapat memperbaiki dan memperlancar administrasi pendidikan.
7. Sebagai perpustakaan elektronik.
8. Mempercepat dan mempermudah komunikasi edukatif antara guru dengan siswa.
Akhirnya, internet diharapkan dapat membantu mempercepat perkembangan pendidikan. Pendidikan lebih maju dan berkualitas. Pada gilirannya pendidikan dapat membantu mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas akan membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Selain dari dampak positif, internet juga berdampak negatif bagi para pelajar. Mencoba untuk melontarkan sebuah wacana dan berbagai fakta tentang sebuah persoalan baru di kota-kota besar yang juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Walaupun masih berupa gejala awal, namun apabila tidak segera diatasi tentu akan berkembang menjadi “penyakit kronis” yang makin sulit untuk diatasi. saat ini telah terjadi pergeseran profil pengguna internet dan juga pergeseran orientasi pemanfaatannya. Pengguna internet terbesar saat ini adalah para pelajar SLTP diikuti oleh pelajar SLTA dan kalangan mahasiswa justru menempati urutan ketiga (kecuali di warnet yang berdekatan dengan kampus). Ada gejala menarik yaitu mulai maraknya pelajar SD bermain internet dan sudah “berani” nongol diwarung internet. Para orang tua tentu saat ini harus “rela” merogoh kocek lebih banyak untuk memenuhi keinginan anak-anaknya untuk bermain internet baik dirumah ataupun di warnet. Harapan orang tua tentulah ingin agar si-anak tidak ketinggalan jaman dan dengan ber-main internet si-anak bisa bertambah pintar. Namun benarkah demikian ?
Makin meratanya pengguna internet disatu sisi memang sangat menggembirakan, namun pergeseran orientasi penggunaan internet sudah sangat memprihatinkan. Dalam pengamatanku, bahwa Para pelajar SLTP, SLTA dan SD sebagian besar (>75%) menggunakan internet “hanya” untuk bermain game dan chatting. Dan rata-rata mereka rela menghabiskan waktu 3-5 jam/ hari dengan mengeluarkan uang Rp.7000 – Rp.30.000/hari untuk bermain internet. Dan anehnya kegiatan tersebut didukung oleh para orang tua. Pergeseran orientasi penggunaan internet tersebut belum ditangkap oleh para orang tua, sehingga setiap anaknya meminta uang berapapun untuk bermain internet selalu diberikan. Padahal yang terjadi adalah tidak ada unsur pendidikan apapun yang bisa didapatkan dari bermain game dan chatting. Memang tidak semua pelajar hanya menggunakan internet untuk bermain game dan chatting. Memang diantara mereka juga menggunakan internet untuk sarana mencari pengetahuan, namun yang melakukan hal itu jumlahnya tidaklah banyak. Game dan chatting bisa membawa effect “kecanduan”. Dan apabila sudah kecanduan tentu effect sampingnya akan membuat anak menjadi malas belajar, malas mengaji dan setiap ada kesempatan selalu berusaha untuk bermain game dan chatting. Dampak negatif bermain game hampir sama dengan dampak permainan Play Station dimana seseorang yang sudah kecanduan akan betah seharian bermain dan bahkan lupa makan, lupa minum dan lupa kalau hari esok masih ada. Sedangkan effect bermain game mungkin bisa digambarkan dengan permainan interkom yang marak sekitar 20 tahun yang lalu. Dimana hampir semua orang “lupa daratan” dan setiap hari kerjanya hanya bermain intercom (jika sudah memegang mic maka orang cenderung akan malas berangkat sekolah, malas berangkat kerja, malas membatu orang tua, malas untuk mengaji malas makan, malas minum dan sebagainya). Begitu juga dengan chatting.. para pelajar yang melakukan kegiatan ini menganggap waktu 5 jam sama dengan 10 menit. Dan mereka cenderung memanfaatkan chatting untuk sekedar ngobrol kesana-kemari dengan teman kencannya di internet dan bahkan tidak menutup kemungkinan juga mengarah kepada pembicaraan yang porno. Effect permainan game dan chatting ini justru lebih berbahaya dari kekhawatiran kita sekitar 5 tahun lalu tentang maraknya situs-situs porno. Karena berdasarkan pengamatan, ternyata situs porno hanya berefek pada euforia dan dalam waktu singkat mereka sudah akan bosan. Namun effect game dan chatting adalah “Effect Candu” yang bisa membuat penggunanya menjadi ketagihan dan ini yang sangat berbahaya bagi dunia pendidikan kita. Beberapa kejadian di Indonesia menunjukan ada kasus perkosaan oleh teman chatting, penipuan oleh teman chatting.
Sebagai bagian dari Teknologi Informasi, internet memang ibarat pisau bermata dua. Disatu sisi, teknologi ini bisa bermanfaat apabila digunakan untuk melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat, seperti: mencari bahan-bahan pelajaran sekolah, diskusi mata pelajaran, mencari program beasiswa, konsultasi dengan pakar, belajar jarak jauh, dan mencari metode-metode pengajaran berbasis multimedia. Namun sayangnya penggunaan internet justru malah bergeser kepada hal-hal yang negatif dan ini harus menjadi perhatian seluruh komponen masyarakat. Karena bagaimanapun kita tetap membutuhkan internet sebagai sarana informasi dan komunikasi yang bersifat global, namun disisi lain kitapun juga harus siap untuk melakukan antisipasi untuk mengatasi dampak-dampak negatifnya. Dan inilah persoalan bersama kita.
Mumpung semua ini masih berbentuk gejala, alangkah baiknya pemerintah, DPRD, dunia pendidikan, pengamat “IT” dan para pengamat sosial kemasyarakatan duduk bersama untuk membahas dan mencari solusi untuk mengatasinya. “Virus” yang membuat mereka “kecanduan” dan “virus” yang bisa menjebak mereka kedalam sebuah permasalahan. Yang paling penting adalah bagaimana kita mengemas teknologi ini agar mempunyai muatan pendidikan namun tetap menarik untuk dikunjungi oleh para pelajar sebagai pengguna internet (netter) mayoritas pada saat ini. Namun tetap semua akan dikembalikan lagi kepada para netter, karena dampak positif maupun negatif dari internet bergantung dari niat pemakainya.
Sumber :
www.google.com
http://dunia.pelajar-islam.or.id
www.klik-galamedia.com
DAMPAK DAN MANFAAT INTERNET BAGI PERKEMBANGAN PENDIDIKAN
Internet merupakan produk teknologi informasi yang mampu berkembang pesat melewati batas negara dan berbagai sendi kehidupan manusia. Dunia pendidikan adalah satu bidang yang memanfaatkan internet secara luas untuk kepentingan peningkatan kualitas suatu institusi pendidikan. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam kemajuan suatu bangsa dan negara. Tanpa pendidikan yang baik, sulit untuk mencapai dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, baik secara lahir maupun batin. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi dan menentukan kemajuan dan perkembangan pendidikan. Salah satu faktor yang dapat memengaruhi perkembangan dunia pendidikan, yaitu kehadiran internet. Internet atau international networking adalah media komunikasi jarak jauh dan informasi dengan menggunakan satelit.
Internet dapat dikatakan sebagai perpustakaan maya (virtual library) yang mengandung jutaan informasi tentang berbagai hal, salah satunya termasuk data dan informasi tentang pendidikan. Internet dapat dijadikan sebagai salah satu sumber belajar alternatif bagi kalangan akademis setelah perpustakaan konvensional di lembaga pendidikan tinggi.
Selain itu manfaat yang ditimbulkan dari kehadiran internet bagi pendidikan antara lain :
1. Mempercepat dan mempermudah alih ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Proses pembelajaran lebih menarik. Melalui internet pembelajaran tidak monoton dan jenuh karena dalam internet ada hal-hal baru yang variatif dan inovatif.
3. Mendorong siswa untuk lebih aktif mencari ilmu pengetahuan dan informasi.
4. Mempermudah penjelasan konsep. Selama ini dalam materi atau bahan pelajaran disampaikan melalui metode ceramah. Dengan adanya internet, guru bisa menyampaikan konsep atau materi secara audiovisual. Pelajaran lebih nyata dan jelas, sehingga mempermudah pemahaman siswa. Hal ini dapat menghindari kebingungan pada diri siswa saat proses pembelajaran berlangsung.
5. Pembelajaran lebih konseptual dan up to date (aktual).
6. Mempermudah dan mempercepat administrasi pendidikan. Pelaksanaan proses pendidikan harus diusahakan lebih praktis dan cepat. Guru tidak terlalu disibukkan urusan administrasi yang berbelit-belit, sehingga konsentrasi lebih tertuju pada proses pembelajaran di kelas. Misalnya, dalam membuat persiapan mengajar, pengolahan nilai, dan menyebarluaskan nilai ulangan atau ujian, bisa menggunakan fasilitas komputer (internet). Dengan demikian, internet dapat memperbaiki dan memperlancar administrasi pendidikan.
7. Sebagai perpustakaan elektronik.
8. Mempercepat dan mempermudah komunikasi edukatif antara guru dengan siswa.
Akhirnya, internet diharapkan dapat membantu mempercepat perkembangan pendidikan. Pendidikan lebih maju dan berkualitas. Pada gilirannya pendidikan dapat membantu mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas akan membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Selain dari dampak positif, internet juga berdampak negatif bagi para pelajar. Mencoba untuk melontarkan sebuah wacana dan berbagai fakta tentang sebuah persoalan baru di kota-kota besar yang juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Walaupun masih berupa gejala awal, namun apabila tidak segera diatasi tentu akan berkembang menjadi “penyakit kronis” yang makin sulit untuk diatasi. saat ini telah terjadi pergeseran profil pengguna internet dan juga pergeseran orientasi pemanfaatannya. Pengguna internet terbesar saat ini adalah para pelajar SLTP diikuti oleh pelajar SLTA dan kalangan mahasiswa justru menempati urutan ketiga (kecuali di warnet yang berdekatan dengan kampus). Ada gejala menarik yaitu mulai maraknya pelajar SD bermain internet dan sudah “berani” nongol diwarung internet. Para orang tua tentu saat ini harus “rela” merogoh kocek lebih banyak untuk memenuhi keinginan anak-anaknya untuk bermain internet baik dirumah ataupun di warnet. Harapan orang tua tentulah ingin agar si-anak tidak ketinggalan jaman dan dengan ber-main internet si-anak bisa bertambah pintar. Namun benarkah demikian ?
Makin meratanya pengguna internet disatu sisi memang sangat menggembirakan, namun pergeseran orientasi penggunaan internet sudah sangat memprihatinkan. Dalam pengamatanku, bahwa Para pelajar SLTP, SLTA dan SD sebagian besar (>75%) menggunakan internet “hanya” untuk bermain game dan chatting. Dan rata-rata mereka rela menghabiskan waktu 3-5 jam/ hari dengan mengeluarkan uang Rp.7000 – Rp.30.000/hari untuk bermain internet. Dan anehnya kegiatan tersebut didukung oleh para orang tua. Pergeseran orientasi penggunaan internet tersebut belum ditangkap oleh para orang tua, sehingga setiap anaknya meminta uang berapapun untuk bermain internet selalu diberikan. Padahal yang terjadi adalah tidak ada unsur pendidikan apapun yang bisa didapatkan dari bermain game dan chatting. Memang tidak semua pelajar hanya menggunakan internet untuk bermain game dan chatting. Memang diantara mereka juga menggunakan internet untuk sarana mencari pengetahuan, namun yang melakukan hal itu jumlahnya tidaklah banyak. Game dan chatting bisa membawa effect “kecanduan”. Dan apabila sudah kecanduan tentu effect sampingnya akan membuat anak menjadi malas belajar, malas mengaji dan setiap ada kesempatan selalu berusaha untuk bermain game dan chatting. Dampak negatif bermain game hampir sama dengan dampak permainan Play Station dimana seseorang yang sudah kecanduan akan betah seharian bermain dan bahkan lupa makan, lupa minum dan lupa kalau hari esok masih ada. Sedangkan effect bermain game mungkin bisa digambarkan dengan permainan interkom yang marak sekitar 20 tahun yang lalu. Dimana hampir semua orang “lupa daratan” dan setiap hari kerjanya hanya bermain intercom (jika sudah memegang mic maka orang cenderung akan malas berangkat sekolah, malas berangkat kerja, malas membatu orang tua, malas untuk mengaji malas makan, malas minum dan sebagainya). Begitu juga dengan chatting.. para pelajar yang melakukan kegiatan ini menganggap waktu 5 jam sama dengan 10 menit. Dan mereka cenderung memanfaatkan chatting untuk sekedar ngobrol kesana-kemari dengan teman kencannya di internet dan bahkan tidak menutup kemungkinan juga mengarah kepada pembicaraan yang porno. Effect permainan game dan chatting ini justru lebih berbahaya dari kekhawatiran kita sekitar 5 tahun lalu tentang maraknya situs-situs porno. Karena berdasarkan pengamatan, ternyata situs porno hanya berefek pada euforia dan dalam waktu singkat mereka sudah akan bosan. Namun effect game dan chatting adalah “Effect Candu” yang bisa membuat penggunanya menjadi ketagihan dan ini yang sangat berbahaya bagi dunia pendidikan kita. Beberapa kejadian di Indonesia menunjukan ada kasus perkosaan oleh teman chatting, penipuan oleh teman chatting.
Sebagai bagian dari Teknologi Informasi, internet memang ibarat pisau bermata dua. Disatu sisi, teknologi ini bisa bermanfaat apabila digunakan untuk melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat, seperti: mencari bahan-bahan pelajaran sekolah, diskusi mata pelajaran, mencari program beasiswa, konsultasi dengan pakar, belajar jarak jauh, dan mencari metode-metode pengajaran berbasis multimedia. Namun sayangnya penggunaan internet justru malah bergeser kepada hal-hal yang negatif dan ini harus menjadi perhatian seluruh komponen masyarakat. Karena bagaimanapun kita tetap membutuhkan internet sebagai sarana informasi dan komunikasi yang bersifat global, namun disisi lain kitapun juga harus siap untuk melakukan antisipasi untuk mengatasi dampak-dampak negatifnya. Dan inilah persoalan bersama kita.
Mumpung semua ini masih berbentuk gejala, alangkah baiknya pemerintah, DPRD, dunia pendidikan, pengamat “IT” dan para pengamat sosial kemasyarakatan duduk bersama untuk membahas dan mencari solusi untuk mengatasinya. “Virus” yang membuat mereka “kecanduan” dan “virus” yang bisa menjebak mereka kedalam sebuah permasalahan. Yang paling penting adalah bagaimana kita mengemas teknologi ini agar mempunyai muatan pendidikan namun tetap menarik untuk dikunjungi oleh para pelajar sebagai pengguna internet (netter) mayoritas pada saat ini. Namun tetap semua akan dikembalikan lagi kepada para netter, karena dampak positif maupun negatif dari internet bergantung dari niat pemakainya.
Sumber :
www.google.com
http://dunia.pelajar-islam.or.id
www.klik-galamedia.com
Pemerintah bangun sekolah untuk anak TKI di Malaysia
Rabu, 17 September 2008 | 20:47 WIB
JAKARTA, RABU - Pemerintah segera mendirikan sekolah bagi anak Tenaga Kerja Indonesia atau TKI di Malaysia, khususnya di Sabah. Sekolah tersebut direncanakan menjadi induk bagi model pelayanan pendidikan nonformal yang akan diadakan pula di sana.
Hal tersebut terungkap dalam jumpa pers yang dihadiri Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Suyanto, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Da'i Bachtiar, dan Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Departemen Luar Negeri, Teguh Wardoyo, Rabu (18/9). Pada hari yang sama mereka mengadakan pertemuan dengan Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo terkait dengan masalah pendidikan anak TKI tersebut.
Selama ini, mereka mendapatkan pendidikan dari lembaga semacam bimbingan tes yang berbasis di Malaysia yakni Yayasan Humana. Sebelumnya diwartakan, para guru honorer yang baru saja pulang mengajar dari Sabah setelah kontrak mereka dengan Depdiknas berakhir, sempat melaporkan bahwa pengajaran oleh Yayasan Humana sekitar 80 persen berkiblat kepada kurikulum di Malaysia. Mereka juga dididik dalam kondisi yang menurut para guru Indonesia tersebut mengenaskan serta tidak mendapatkan ijasah sehingga sulit meneruskan pendidikan.
Da'i Bachtiar mengatakan, pemerintah segera membangun sekolah Indonesia di Kinabalu. Sementara akan disewa beberapa rumah toko untuk beberapa kelas. Ke depan, pemerintah akan membeli tanah guna membangun sekolah tersebut.
Suyanto menambahkan, telah dipersipakan anggaran sekitar Rp 7 miliar untuk membeli tanah. Pembangunan sekolah tersebut akan bekerja sama dengan Kedutaan Besar RI. Sekolah tersebut untuk menangani anak-anak sekitar Kinabalu saja yang berdasarkan pendataan sekitar 500 anak. Dari jumlah tersebut, terdapat 170-an anak masih dalam usia sekolah. Selebihnya, anak tidak dapat masuk sekolah formal karena faktor usia.
Untuk anak-anak tersebut dan anak di kawasan perkebunan di pedalaman, pemerintah merencanakan untuk memberikan pelayanan pendidikan nonformal yang nantinya dapat menginduk ke sekoolah formal di Kinabalu itu. Jumlah anak TKI di Sabah yang membutuhkan layanan pendidikan layak diperkirakan berkisar 25.000-30.000 anak.
Pemerintah juga akan memperbesar kapasitas sekolah-sekolah di wilayah Indonesia yang berdekatan dengan Malaysia. "Di Nunukan dan Sebatik akan diperluas kapasitasnya. Kami berupaya menyelesaikan persoalan ini sekomprehensif mungkin. Harapannya, anak-anak dapat menikmati pendidikan yang merupakan haknya terlepas mereka sebagai warga legal atau ilegal," ujar Suyanto.
Departemen Pendidikan Nasional atau Depdiknas juga kan mengirimkan 10.000 ribu buku bagi anak-anak Tenaga Kerja Indonesia di Sabah, Malaysia. Hal itu agar anak tetap dapat mengikuti perkembangan kurikulum di Indonesia. Dengan adanya buku berbasis kurikulum Indonesia tersebut harapannya anak-anak tersebut tidak asing dengan yang terjadi di tanah air.
JAKARTA, RABU - Pemerintah segera mendirikan sekolah bagi anak Tenaga Kerja Indonesia atau TKI di Malaysia, khususnya di Sabah. Sekolah tersebut direncanakan menjadi induk bagi model pelayanan pendidikan nonformal yang akan diadakan pula di sana.
Hal tersebut terungkap dalam jumpa pers yang dihadiri Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Suyanto, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Da'i Bachtiar, dan Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Departemen Luar Negeri, Teguh Wardoyo, Rabu (18/9). Pada hari yang sama mereka mengadakan pertemuan dengan Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo terkait dengan masalah pendidikan anak TKI tersebut.
Selama ini, mereka mendapatkan pendidikan dari lembaga semacam bimbingan tes yang berbasis di Malaysia yakni Yayasan Humana. Sebelumnya diwartakan, para guru honorer yang baru saja pulang mengajar dari Sabah setelah kontrak mereka dengan Depdiknas berakhir, sempat melaporkan bahwa pengajaran oleh Yayasan Humana sekitar 80 persen berkiblat kepada kurikulum di Malaysia. Mereka juga dididik dalam kondisi yang menurut para guru Indonesia tersebut mengenaskan serta tidak mendapatkan ijasah sehingga sulit meneruskan pendidikan.
Da'i Bachtiar mengatakan, pemerintah segera membangun sekolah Indonesia di Kinabalu. Sementara akan disewa beberapa rumah toko untuk beberapa kelas. Ke depan, pemerintah akan membeli tanah guna membangun sekolah tersebut.
Suyanto menambahkan, telah dipersipakan anggaran sekitar Rp 7 miliar untuk membeli tanah. Pembangunan sekolah tersebut akan bekerja sama dengan Kedutaan Besar RI. Sekolah tersebut untuk menangani anak-anak sekitar Kinabalu saja yang berdasarkan pendataan sekitar 500 anak. Dari jumlah tersebut, terdapat 170-an anak masih dalam usia sekolah. Selebihnya, anak tidak dapat masuk sekolah formal karena faktor usia.
Untuk anak-anak tersebut dan anak di kawasan perkebunan di pedalaman, pemerintah merencanakan untuk memberikan pelayanan pendidikan nonformal yang nantinya dapat menginduk ke sekoolah formal di Kinabalu itu. Jumlah anak TKI di Sabah yang membutuhkan layanan pendidikan layak diperkirakan berkisar 25.000-30.000 anak.
Pemerintah juga akan memperbesar kapasitas sekolah-sekolah di wilayah Indonesia yang berdekatan dengan Malaysia. "Di Nunukan dan Sebatik akan diperluas kapasitasnya. Kami berupaya menyelesaikan persoalan ini sekomprehensif mungkin. Harapannya, anak-anak dapat menikmati pendidikan yang merupakan haknya terlepas mereka sebagai warga legal atau ilegal," ujar Suyanto.
Departemen Pendidikan Nasional atau Depdiknas juga kan mengirimkan 10.000 ribu buku bagi anak-anak Tenaga Kerja Indonesia di Sabah, Malaysia. Hal itu agar anak tetap dapat mengikuti perkembangan kurikulum di Indonesia. Dengan adanya buku berbasis kurikulum Indonesia tersebut harapannya anak-anak tersebut tidak asing dengan yang terjadi di tanah air.
Alat dan saran pendidikan Islam
29 f 2008 pada 3:11 pm (Pendidikan Islam)
Tags: Pendidikan ImronFauzi wordpres.com
Alat pendidikan adalah suatu tindakan / perbuatan / situasi / benda yang sengaja diadakan untuk mempermudah pencapaian pendidikan. Alat pendidikan dapat juga di sebut sebagai sarana / prasarana pendidikan. Sarana pendidikan terbagi kepada dua bagian yaitu : Pertama, Sarana fisik pendidikan; Kedua, Sarana non fisik pendidikan.
1. Sarana Fisik Pendidikan.
Lembaga Pendidikan
a. baga atau badan pendidikan adalah organisasi atau kelompok manusia, yang memikul tanggung jawab atas terlaksananya pendidikan. Lembaga pendidikan ini dapat berbentuk formal, informal, dan non formal.
Secara formal pendidikan di berikan di sekolah yang terkait aturan – aturan tertentu, sedangkan non formal di berikan berupa kursus-kursus yang aturannya tidak terlalu ketat, dan yang secara informal pendidikan di berikan di lingkungan keluarga.
b) Media Pendidikan.
Media disini berarti alat-alat / benda-benda yang dapat membantu kelancaran proses pendidikan, Seperti: OHP, Komputer, dan sebagainya.
2. Sarana Non Fisik Pendidikan
Yaitu alat pendidikan yang tidak berupa bangunan tapi berupa materi atau pokok-pokok pikiran yang membantu kelancaran proses pendidikan. Sarana pendidikan non fisik ini terdiri dari :
a) Kurikulum
Kurikulum merupakan bahan-bahan pelajaran yang harus di sajikan dalam proses pendidikan dalam suatu sistem institusional pendidikan. Dalam IPI kurikulum merupakan komponen yang amat penting karena juga sebagai alat pencapaian tujuan pendidikan itu. Selain itu kurikulum yang diberikan di upayakan agar anak didik dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat.
b) Metode
Metode dapat di artikan sebagai cara mengajar untuk pencapaian tujuan. Penggunaan metode dapat memperlancar proses pendidikan sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Metode-metode tersebut, seperti: Metode Ceramah, Metode Tanya jawab, Metode Hafalan, Cerita, Diskusi, dan lain-lain.
c) Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu cara memberikan penialaian terhadap hasil belajar murid. Evaluasi dapat berbentuk tes dan non tes.
Evaluasi tes dapat berupa: essay, tes objektif, dan sebagainya. Sedangkan evaluasi non tes dapat berupa: penilaian terhadap kehadiran, pengendalian diri, nalar, dan pengalaman.
d) Manajemen
Pengelolaan yang baik dan terarah sangat diperlukan dalam mengelola lembaga pendidikan agar tujuan yang di harapkan dapat tercapai. Pengembangan sistem pendidikan islam membutuhkan manajemen yang baik. Perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, penempatan pegawai, dan pengawasan yang baik akan memperkuat pendidikan Islam sehingga out put yang di hasilkan akan berkualitas dan dapat menjawab tantangan zaman.
e) Mutu Pelajaran
Peningkatan mutu pelajaran tidak terlepas dari peningkatan kualitas tenaga pengajar. Kualitas tenaga pengajar ini dapat di usahakan melalui bimbingan, penataran, pelatihan, dan lain-lain.
Tags: Pendidikan ImronFauzi wordpres.com
Alat pendidikan adalah suatu tindakan / perbuatan / situasi / benda yang sengaja diadakan untuk mempermudah pencapaian pendidikan. Alat pendidikan dapat juga di sebut sebagai sarana / prasarana pendidikan. Sarana pendidikan terbagi kepada dua bagian yaitu : Pertama, Sarana fisik pendidikan; Kedua, Sarana non fisik pendidikan.
1. Sarana Fisik Pendidikan.
Lembaga Pendidikan
a. baga atau badan pendidikan adalah organisasi atau kelompok manusia, yang memikul tanggung jawab atas terlaksananya pendidikan. Lembaga pendidikan ini dapat berbentuk formal, informal, dan non formal.
Secara formal pendidikan di berikan di sekolah yang terkait aturan – aturan tertentu, sedangkan non formal di berikan berupa kursus-kursus yang aturannya tidak terlalu ketat, dan yang secara informal pendidikan di berikan di lingkungan keluarga.
b) Media Pendidikan.
Media disini berarti alat-alat / benda-benda yang dapat membantu kelancaran proses pendidikan, Seperti: OHP, Komputer, dan sebagainya.
2. Sarana Non Fisik Pendidikan
Yaitu alat pendidikan yang tidak berupa bangunan tapi berupa materi atau pokok-pokok pikiran yang membantu kelancaran proses pendidikan. Sarana pendidikan non fisik ini terdiri dari :
a) Kurikulum
Kurikulum merupakan bahan-bahan pelajaran yang harus di sajikan dalam proses pendidikan dalam suatu sistem institusional pendidikan. Dalam IPI kurikulum merupakan komponen yang amat penting karena juga sebagai alat pencapaian tujuan pendidikan itu. Selain itu kurikulum yang diberikan di upayakan agar anak didik dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat.
b) Metode
Metode dapat di artikan sebagai cara mengajar untuk pencapaian tujuan. Penggunaan metode dapat memperlancar proses pendidikan sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Metode-metode tersebut, seperti: Metode Ceramah, Metode Tanya jawab, Metode Hafalan, Cerita, Diskusi, dan lain-lain.
c) Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu cara memberikan penialaian terhadap hasil belajar murid. Evaluasi dapat berbentuk tes dan non tes.
Evaluasi tes dapat berupa: essay, tes objektif, dan sebagainya. Sedangkan evaluasi non tes dapat berupa: penilaian terhadap kehadiran, pengendalian diri, nalar, dan pengalaman.
d) Manajemen
Pengelolaan yang baik dan terarah sangat diperlukan dalam mengelola lembaga pendidikan agar tujuan yang di harapkan dapat tercapai. Pengembangan sistem pendidikan islam membutuhkan manajemen yang baik. Perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, penempatan pegawai, dan pengawasan yang baik akan memperkuat pendidikan Islam sehingga out put yang di hasilkan akan berkualitas dan dapat menjawab tantangan zaman.
e) Mutu Pelajaran
Peningkatan mutu pelajaran tidak terlepas dari peningkatan kualitas tenaga pengajar. Kualitas tenaga pengajar ini dapat di usahakan melalui bimbingan, penataran, pelatihan, dan lain-lain.
Tujuan perpustakaan berbasis TIK
Oleh LIlik Susilowati
Tujuan penyelenggaraan perpustakaan sekolah adalah menunjang program belajar bagi murid dan engajar bagi guru agar tujuan umum dan khusus endidikan tercapai secara optimal.
Membangun serta memfasilitasi minat baca siswa, sehingga dapat membantu proses
belajar mengajar serta memfasilitasi keinginan siswa untuk mengetahui hal-hal lain ang tidak diberi oleh pengajar atau guru.
Peranan perpustakaan sekolah berperan sebagai salah satu sarana pendidikan yang ersifat teknis edukatif dan bersama -sama dengan unsur-unsur pendidikan lainnya kut menentukan berhasilnya proses pendidikan.
Fungsi perpustakaan sekolah adalah memberikan informasi untuk menunjang rogram belajar dan mengajar. Fungsi dari pelayanan informasi akan menghasilkan iga macam manfaat yaitu : Sebagai sumber belajar, sumber informasi, mengasah nspirasi dan rekreasi.
Dikatakan sebagai sumber belajar karena dengan menggunakan perpustakaan ecara tepat guna siswa dapat memperdalam pemahaman dan penghayatan engetahuan yang diperoleh dari guru. Dikatakan sebagai sumber informasi karena oleksi perpustakaan dapat dipergunakan untuk memperluas cakrawala pengetahuan an ketrampilan murid selain yang telah diberikan oleh guru. Begitu juga penggunaan leh guru akan memperluas cakrawala dan memutakhirkan pengetahuan guru dalam idang studi yang diajarkan.
Manfaat sebagai sumber rekreasi tampak dalam fungsinya memberikan koleksi ingan sehingga memberikan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan erkembangan perpustakaan, ketrampilan, serta nilai dan sikap hidup, baik guru maupun siswa.
Tujuan penyelenggaraan perpustakaan sekolah adalah menunjang program belajar bagi murid dan engajar bagi guru agar tujuan umum dan khusus endidikan tercapai secara optimal.
Membangun serta memfasilitasi minat baca siswa, sehingga dapat membantu proses
belajar mengajar serta memfasilitasi keinginan siswa untuk mengetahui hal-hal lain ang tidak diberi oleh pengajar atau guru.
Peranan perpustakaan sekolah berperan sebagai salah satu sarana pendidikan yang ersifat teknis edukatif dan bersama -sama dengan unsur-unsur pendidikan lainnya kut menentukan berhasilnya proses pendidikan.
Fungsi perpustakaan sekolah adalah memberikan informasi untuk menunjang rogram belajar dan mengajar. Fungsi dari pelayanan informasi akan menghasilkan iga macam manfaat yaitu : Sebagai sumber belajar, sumber informasi, mengasah nspirasi dan rekreasi.
Dikatakan sebagai sumber belajar karena dengan menggunakan perpustakaan ecara tepat guna siswa dapat memperdalam pemahaman dan penghayatan engetahuan yang diperoleh dari guru. Dikatakan sebagai sumber informasi karena oleksi perpustakaan dapat dipergunakan untuk memperluas cakrawala pengetahuan an ketrampilan murid selain yang telah diberikan oleh guru. Begitu juga penggunaan leh guru akan memperluas cakrawala dan memutakhirkan pengetahuan guru dalam idang studi yang diajarkan.
Manfaat sebagai sumber rekreasi tampak dalam fungsinya memberikan koleksi ingan sehingga memberikan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan erkembangan perpustakaan, ketrampilan, serta nilai dan sikap hidup, baik guru maupun siswa.
Perbaikan sekolah rusak selesai
SEMARANG (Joglosemar): Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah (Jateng) menargetkan untuk menyelesaikan perbaikan terhadap sekolah rusak pada tahun 2008. Perbaikan ini, dialokasikan dari dana Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Daftar Pelaksanaan Anggaran (DPA).
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jateng mendapat DIPA APBN 2008 sebesar Rp 2.675.777.194.000 dan Rp 250 miliar dari APBD Jateng 2008. Dana ini, menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jateng Kunto Nugroho Hari Putranto, akan digunakan untuk pemberantasan buta aksara, mendukung program wajib belajar pendidikan dasar, menyelesaikan rehabilitasi sarana prasarana pendidikan dan meningkatkan kualitas pendidikan secara umum dan khusus untuk meningkatkan kualitas manajemen atau penyelenggaraan pendidikan sekolah kejuruan di Jateng.
”Kalau sekolah kejuruan bisa di-push (tekan) dengan proporsi 70:30, bertahap melalui 60:40, diharapkan output (lulusan) SMK akan bisa mengisi lowongan kerja, sehingga bisa mengurangi masalah pengangguran atau kemiskinan,” ungkap Kunto, Sabtu (5/1).
Selain peningkatan kualitas manajemen penyelenggaraan pendidikan sekolah kejuruan, prioritas berikutnya di tahun 2008 adalah menyelesaikan perbaikan sarana dan prasarana sekolah.
Kunto menyatakan, perbaikan terhadap sekitar 24.000 sekolah, baik yang rusak ringan, sedang dan berat ditargetkan bisa diselesaikan di tahun 2008. Upaya perbaikan ini, selain dialokasikan dari APBN, juga dari APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota. ”Recovery sharing budgeting, 50 persen dari APBN, 30 persen dari APBD provinsi dan 20, persen dari APBD kabupaten/kota,” jelasnya.
Buta Aksara
Dana untuk perbaikan ini, dari APBD provinsi sekitar Rp 100 miliar. Nantinya satu sekolah rusak mendapat dana sebesar Rp 40 juta.
Target selanjutnya adalah pemberantasan buta aksara. Kunto menyebutkan, 2,9 juta lebih masyarakat Jateng telah bebas dari buta aksara pada tahun 2005, atau peringkat kedua bebas aksara secara nasional. ”Pemberantasan buta aksara 100 persen jelas tidak mungkin, tetapi kita sudah mengarah ke sana,” jelasnya.
Ia menyatakan, penyandang buta aksara usia produktif sebanyak 480 ribu lebih di tahun 2007 telah tuntas. Sementara penyandang buta aksara untuk usia lanjut (44 tahun ke atas) masih berjumlah sekitar 1,6 juta orang. Namun, angka ini sudah diintervensi dan ditargetkan berkurang setengahnya pada tahun 2008.
”Secara keseluruhan, dari 2,9 juta masyarakat, sekarang tinggal 800-an. Kita sudah melampai target yang diharapkan oleh pemerintah,” tambahnya.
Pemerintah melalui visi Millenium Development Goals (MDGs) 2015 berkomitmen untuk melakukan pemberantasan terhadap buta aksara di Indonesia. (ena)
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jateng mendapat DIPA APBN 2008 sebesar Rp 2.675.777.194.000 dan Rp 250 miliar dari APBD Jateng 2008. Dana ini, menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jateng Kunto Nugroho Hari Putranto, akan digunakan untuk pemberantasan buta aksara, mendukung program wajib belajar pendidikan dasar, menyelesaikan rehabilitasi sarana prasarana pendidikan dan meningkatkan kualitas pendidikan secara umum dan khusus untuk meningkatkan kualitas manajemen atau penyelenggaraan pendidikan sekolah kejuruan di Jateng.
”Kalau sekolah kejuruan bisa di-push (tekan) dengan proporsi 70:30, bertahap melalui 60:40, diharapkan output (lulusan) SMK akan bisa mengisi lowongan kerja, sehingga bisa mengurangi masalah pengangguran atau kemiskinan,” ungkap Kunto, Sabtu (5/1).
Selain peningkatan kualitas manajemen penyelenggaraan pendidikan sekolah kejuruan, prioritas berikutnya di tahun 2008 adalah menyelesaikan perbaikan sarana dan prasarana sekolah.
Kunto menyatakan, perbaikan terhadap sekitar 24.000 sekolah, baik yang rusak ringan, sedang dan berat ditargetkan bisa diselesaikan di tahun 2008. Upaya perbaikan ini, selain dialokasikan dari APBN, juga dari APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota. ”Recovery sharing budgeting, 50 persen dari APBN, 30 persen dari APBD provinsi dan 20, persen dari APBD kabupaten/kota,” jelasnya.
Buta Aksara
Dana untuk perbaikan ini, dari APBD provinsi sekitar Rp 100 miliar. Nantinya satu sekolah rusak mendapat dana sebesar Rp 40 juta.
Target selanjutnya adalah pemberantasan buta aksara. Kunto menyebutkan, 2,9 juta lebih masyarakat Jateng telah bebas dari buta aksara pada tahun 2005, atau peringkat kedua bebas aksara secara nasional. ”Pemberantasan buta aksara 100 persen jelas tidak mungkin, tetapi kita sudah mengarah ke sana,” jelasnya.
Ia menyatakan, penyandang buta aksara usia produktif sebanyak 480 ribu lebih di tahun 2007 telah tuntas. Sementara penyandang buta aksara untuk usia lanjut (44 tahun ke atas) masih berjumlah sekitar 1,6 juta orang. Namun, angka ini sudah diintervensi dan ditargetkan berkurang setengahnya pada tahun 2008.
”Secara keseluruhan, dari 2,9 juta masyarakat, sekarang tinggal 800-an. Kita sudah melampai target yang diharapkan oleh pemerintah,” tambahnya.
Pemerintah melalui visi Millenium Development Goals (MDGs) 2015 berkomitmen untuk melakukan pemberantasan terhadap buta aksara di Indonesia. (ena)
60 gedung sekolah rusak di Samarinda
INILAH.COM, Samarinda - Sedikitnya 60 unit gedung Sekolah Dasar (SD) dari 199 SD yang ada di Samarinda, Kaltim rusak akibat bangunan gedung SD umumnya terbuat dari kayu dan 10 unit di antaranya karena banjir.
"Dari 199 gedung SD di Samarinda, 30 persen di antaranya rusak akibat gedungnya terbuat dari kayu dan sebahagian karena banjir. Namun, seluruh bangunan sekolah di Samarinda masih layak sehingga perbaikannya hanya bersifat renovasi dan peningkatan gedung," kata Kepala Sub Dinas Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan Kota Samarinda, L. Hamuddin kepada wartawan di Samarinda Selasa (29/1).
Ia mengakui, dari Rp 178, 7 miliar anggaran pendidikan tahun 2008 yang dikucurkan Pemerintah Kota Samarinda, Rp 50 miliar di antaranya dialokasikan untuk perbaikan gedung SD dan SMP.
"Alokasi anggaran untuk perbaikan gedung sekolah sebesar Rp 50 miliar yang dibagi menjadi dua yaitu, untuk rehabilitasi sebesar Rp 37 miliar dan pengadaan sarana belajar-mengajar Rp 13 miliar. Kerusakannya tidak terlalu parah dan umumnya yang rusak hanya bahagian atap,"kata L. Hamuddin.
Dijelaskan Kasubdin Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan Kota Samarinda itu, alokasi anggaran pendidikan tahun 2008 lebih diprioritaskan pada tingkat SD dan SMP, sementara alokasi untuk tingkat SMU diprioritaskan pada pengadaan laboratorium.
Dari data Dinas Pendidikan Kota Samarinda, terdapat 45 buah gedung SMP, dan 15 unit gedung SMU. 40 persen SMU di Samarinda, kata L Hamuddin, belum memiliki laboratorium.
Menurutnya, gedung SMP dan SMU di Samarinda kondisinya relatif baik sehingga anggaran pendidikan lebih diprioritaskan pada pengadaan sarana penunjang.
Pemkot Samarinda ungkap Kasubdin Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan Kota Samarinda tersebut mengalokasikan dana Rp 31 miliar untuk intensif 7435 guru swasta.
"Tahun 2007, setiap guru swasta hanya memperoleh insetif Rp 250 per bulan dan ditingkatkan Rp 350 ribu per bulan pada tahun 2008. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan guru, khususnya guru swasta di Samarinda,"ungkapnya.
Sementara, Pemkot Samarinda juga telah menerapkan penghapusan biaya partisipasi bagi murid dengan mengalokasi anggaran sebesar Rp 33 miliar guna penyediaan Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM).
"Besarnya anggaran itu merupakan komitemen Pemkot Samarinda untuk merealisasikan 20 persen anggaran pendidikan dari APBD kota Samarinda," kata L Hamuddin. [Ant/R1]
"Dari 199 gedung SD di Samarinda, 30 persen di antaranya rusak akibat gedungnya terbuat dari kayu dan sebahagian karena banjir. Namun, seluruh bangunan sekolah di Samarinda masih layak sehingga perbaikannya hanya bersifat renovasi dan peningkatan gedung," kata Kepala Sub Dinas Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan Kota Samarinda, L. Hamuddin kepada wartawan di Samarinda Selasa (29/1).
Ia mengakui, dari Rp 178, 7 miliar anggaran pendidikan tahun 2008 yang dikucurkan Pemerintah Kota Samarinda, Rp 50 miliar di antaranya dialokasikan untuk perbaikan gedung SD dan SMP.
"Alokasi anggaran untuk perbaikan gedung sekolah sebesar Rp 50 miliar yang dibagi menjadi dua yaitu, untuk rehabilitasi sebesar Rp 37 miliar dan pengadaan sarana belajar-mengajar Rp 13 miliar. Kerusakannya tidak terlalu parah dan umumnya yang rusak hanya bahagian atap,"kata L. Hamuddin.
Dijelaskan Kasubdin Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan Kota Samarinda itu, alokasi anggaran pendidikan tahun 2008 lebih diprioritaskan pada tingkat SD dan SMP, sementara alokasi untuk tingkat SMU diprioritaskan pada pengadaan laboratorium.
Dari data Dinas Pendidikan Kota Samarinda, terdapat 45 buah gedung SMP, dan 15 unit gedung SMU. 40 persen SMU di Samarinda, kata L Hamuddin, belum memiliki laboratorium.
Menurutnya, gedung SMP dan SMU di Samarinda kondisinya relatif baik sehingga anggaran pendidikan lebih diprioritaskan pada pengadaan sarana penunjang.
Pemkot Samarinda ungkap Kasubdin Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan Kota Samarinda tersebut mengalokasikan dana Rp 31 miliar untuk intensif 7435 guru swasta.
"Tahun 2007, setiap guru swasta hanya memperoleh insetif Rp 250 per bulan dan ditingkatkan Rp 350 ribu per bulan pada tahun 2008. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan guru, khususnya guru swasta di Samarinda,"ungkapnya.
Sementara, Pemkot Samarinda juga telah menerapkan penghapusan biaya partisipasi bagi murid dengan mengalokasi anggaran sebesar Rp 33 miliar guna penyediaan Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM).
"Besarnya anggaran itu merupakan komitemen Pemkot Samarinda untuk merealisasikan 20 persen anggaran pendidikan dari APBD kota Samarinda," kata L Hamuddin. [Ant/R1]
Indosat bantu sekolah Rp 1,2 M
Penyerahan Donasi Duta Belia 17-8-45
JAKARTA - Indosat menyerahkan hasil Donasi 17-8-45 untuk membantu sarana dan prasarana belajar mengajar di sekolah-sekolah sebesar Rp1,2 Milyar. Selain itu Indosat juga memberikan beasiswa kepada generasi muda berprestasi yang tergabung dalam Duta Belia 2008.
Program Donasi dan Beasiswa Duta Belia ini merupakan bagian dari kegiatan kepedulian perusahaan kepada masyarakat (corporate social responsibility/CSR) yang selama ini secara konsisten dilaksanakan perusahaan dengan fokus pendidikan dan kesehatan di bawah payung Indosat Cinta Indonesia.
Program Donasi 17-8-45 sendiri merupakan program kepedulian dengan penyisihan pendapatan dari setiap penggunaan layanan Indosat oleh pelanggan sejak awal Agustus lalu yang mencapai Rp 927.394.199,- yang kemudian ditambah dengan dana CSR Indosat sehingga mencapai total Rp 1,2 Milyar. Dana ini nantinya akan disumbangkan untuk membantu sarana dan prasarana belajar mengajar di sekolah-sekolah di seluruh pelosok tanah air di mana Indosat beroperasi dan melayani masyarakat.
Selain penyerahan hasil program Donasi 17-8-45, dalam kesempatan yang sama Indosat juga memberikan beasiswa kepada para Duta Belia 2008. Indosat secara konsisten turut berpartisipasi dalam kegiatan Duta Belia yang dipelopori oleh Departemen Luar Negeri, yang bekerja sama dengan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga.
"Indosat menyambut hangat dan turut bangga atas prestasi para Duta Belia yang telah mengharumkan nama bangsa. Kami berharap beasiswa ini dapat memacu untuk lebih berprestasi lagi serta memberikan teladan positif kepada generasi muda lainnya," papar Direktur Utama Indosat Johnny Swandi Sjam melalui siaran pers, Kamis (21/8/2008).
Duta Belia adalah kelompok anak-anak muda berprestasi yang telah mengharumkan nama Indonesia di tingkat nasional maupun internasional, seperti anggota Paskibraka, tim Olimpiade Science, pelajar teladan, pelajar pelatih angklung dan Duta Pesantren. Pemberian beasiswa ini telah dilakukan Indosat secara konsisten, dimana untuk tahun 2008 total beasiswa yang diberikan mencapai Rp255 juta.
Selain beasiswa, Indosat juga membantu memfasilitasi pelaksanaan pelatihan para Duta Belia di Indosat Training & Conference, di Jatiluhur, Jawa Barat yang akan dilaksanakan mulai tanggal 21 ? 23 Agustus 2008. Indosat pun turut membantu pengembangan situs Duta Belia yang menjadi wadah silaturahmi dan sarana pertukaran informasi antar alumni Duta Belia. (//srn)
JAKARTA - Indosat menyerahkan hasil Donasi 17-8-45 untuk membantu sarana dan prasarana belajar mengajar di sekolah-sekolah sebesar Rp1,2 Milyar. Selain itu Indosat juga memberikan beasiswa kepada generasi muda berprestasi yang tergabung dalam Duta Belia 2008.
Program Donasi dan Beasiswa Duta Belia ini merupakan bagian dari kegiatan kepedulian perusahaan kepada masyarakat (corporate social responsibility/CSR) yang selama ini secara konsisten dilaksanakan perusahaan dengan fokus pendidikan dan kesehatan di bawah payung Indosat Cinta Indonesia.
Program Donasi 17-8-45 sendiri merupakan program kepedulian dengan penyisihan pendapatan dari setiap penggunaan layanan Indosat oleh pelanggan sejak awal Agustus lalu yang mencapai Rp 927.394.199,- yang kemudian ditambah dengan dana CSR Indosat sehingga mencapai total Rp 1,2 Milyar. Dana ini nantinya akan disumbangkan untuk membantu sarana dan prasarana belajar mengajar di sekolah-sekolah di seluruh pelosok tanah air di mana Indosat beroperasi dan melayani masyarakat.
Selain penyerahan hasil program Donasi 17-8-45, dalam kesempatan yang sama Indosat juga memberikan beasiswa kepada para Duta Belia 2008. Indosat secara konsisten turut berpartisipasi dalam kegiatan Duta Belia yang dipelopori oleh Departemen Luar Negeri, yang bekerja sama dengan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga.
"Indosat menyambut hangat dan turut bangga atas prestasi para Duta Belia yang telah mengharumkan nama bangsa. Kami berharap beasiswa ini dapat memacu untuk lebih berprestasi lagi serta memberikan teladan positif kepada generasi muda lainnya," papar Direktur Utama Indosat Johnny Swandi Sjam melalui siaran pers, Kamis (21/8/2008).
Duta Belia adalah kelompok anak-anak muda berprestasi yang telah mengharumkan nama Indonesia di tingkat nasional maupun internasional, seperti anggota Paskibraka, tim Olimpiade Science, pelajar teladan, pelajar pelatih angklung dan Duta Pesantren. Pemberian beasiswa ini telah dilakukan Indosat secara konsisten, dimana untuk tahun 2008 total beasiswa yang diberikan mencapai Rp255 juta.
Selain beasiswa, Indosat juga membantu memfasilitasi pelaksanaan pelatihan para Duta Belia di Indosat Training & Conference, di Jatiluhur, Jawa Barat yang akan dilaksanakan mulai tanggal 21 ? 23 Agustus 2008. Indosat pun turut membantu pengembangan situs Duta Belia yang menjadi wadah silaturahmi dan sarana pertukaran informasi antar alumni Duta Belia. (//srn)
DKI akan rehabilitasi 65 % gedung sekolah
Selasa, 3 Februari 2009 | 17:02 WIB
JAKARTA, SELASA — Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, Bidang Sarana dan Prasarana Pendidikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan merehabilitasi 321 gedung sekolah SDN, SMPN, SMAN, dan SMKN. Jumlah ini jauh dari yang diusulkan pihak Dinas Pendidikan DKI Jakarta kepada DPRD.
Dalam jumpa pers di balai kota, Selasa (3/2), Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Pemprov DKI Jakarta Didi Sugandi mengatakan, ke-321 gedung sekolah ini terbagi dalam 3 tipe rehabilitasi. Yakni rehab total sebanyak 19 sekolah, rehab sedang 10 sekolah, dan rehab berat 229 sekolah.
“Data rekapitulasi gedung sekolah yang diusulkan sebesar 497 gedung, 321 gedung dikerjakan tahun ini dan sisanya 179 gedung sekolah belum masuk target rehab tahun ini,” katanya. Pada rehab total realisasi anggaran mencapai sekitar Rp 233 miliar dan rehab berat sebanyak Rp 348 miliar, sementara Didi tidak merinci besaran untuk rehabilitasi sedang.
Adapun kriteria sebuah sekolah masuk rehab total adalah umur bangunan lebih dari 30 tahun, tingkat kerusakan lebih dari 65 persen, tidak memilik ruang penunjang serta konstruksi belum standar, masih menggunakan bahan kayu yang sudah rapuh, dan konstruksi bangunan tidak dapat dipertahankan.
Untuk jenis rehabilitasi berat, kriterianya mencakup tingkat kerusakan di atas 45-65 persen dan tidak rawan banjir setiap musim hujan. Adapun untuk rehab sedang, tingkat kerusakan hanya berada pada kisaran 20-45 persen, atap menggunakan baja ringan dan dalam kondisi baik serta pada umumnya kerusakan hanya di pintu dan jendela.
Ujang Arifin, Kepala Sekretariat Dinas Pendidikan DKI Jakarta, yang ikut mendampingi Didi menjelaskan bahwa gedung sekolah yang ada pada saat ini 46,60 persen di antaranya belum dilengkapi sarana penunjang pendidikan. Padahal, ketentuan sarana penunjang sudah diatur Permendiknas No 24/2008.
“Permendiknas mengatur standar sarana prasarana sebuah gedung sekolah yang di dalamnya memuat 7 ruang sarana penunjang. Kenyataan di lapangan, 820 gedung belum dilengkapi sarana penunjang,” ujarnya. Jumlah tersebut, diungkapkan Ujang, terdiri dari 660 SDN, 105 SMPN, 28 SMAN, dan 16 SMKN.
Kondisi di lapangan juga memberikan kenyataan bahwa 18 persen gedung dalam kondisi ambruk, 22, 2 persen kondisi rusak berat, dan 13 persen kondisi rusak sedang
JAKARTA, SELASA — Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, Bidang Sarana dan Prasarana Pendidikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan merehabilitasi 321 gedung sekolah SDN, SMPN, SMAN, dan SMKN. Jumlah ini jauh dari yang diusulkan pihak Dinas Pendidikan DKI Jakarta kepada DPRD.
Dalam jumpa pers di balai kota, Selasa (3/2), Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Pemprov DKI Jakarta Didi Sugandi mengatakan, ke-321 gedung sekolah ini terbagi dalam 3 tipe rehabilitasi. Yakni rehab total sebanyak 19 sekolah, rehab sedang 10 sekolah, dan rehab berat 229 sekolah.
“Data rekapitulasi gedung sekolah yang diusulkan sebesar 497 gedung, 321 gedung dikerjakan tahun ini dan sisanya 179 gedung sekolah belum masuk target rehab tahun ini,” katanya. Pada rehab total realisasi anggaran mencapai sekitar Rp 233 miliar dan rehab berat sebanyak Rp 348 miliar, sementara Didi tidak merinci besaran untuk rehabilitasi sedang.
Adapun kriteria sebuah sekolah masuk rehab total adalah umur bangunan lebih dari 30 tahun, tingkat kerusakan lebih dari 65 persen, tidak memilik ruang penunjang serta konstruksi belum standar, masih menggunakan bahan kayu yang sudah rapuh, dan konstruksi bangunan tidak dapat dipertahankan.
Untuk jenis rehabilitasi berat, kriterianya mencakup tingkat kerusakan di atas 45-65 persen dan tidak rawan banjir setiap musim hujan. Adapun untuk rehab sedang, tingkat kerusakan hanya berada pada kisaran 20-45 persen, atap menggunakan baja ringan dan dalam kondisi baik serta pada umumnya kerusakan hanya di pintu dan jendela.
Ujang Arifin, Kepala Sekretariat Dinas Pendidikan DKI Jakarta, yang ikut mendampingi Didi menjelaskan bahwa gedung sekolah yang ada pada saat ini 46,60 persen di antaranya belum dilengkapi sarana penunjang pendidikan. Padahal, ketentuan sarana penunjang sudah diatur Permendiknas No 24/2008.
“Permendiknas mengatur standar sarana prasarana sebuah gedung sekolah yang di dalamnya memuat 7 ruang sarana penunjang. Kenyataan di lapangan, 820 gedung belum dilengkapi sarana penunjang,” ujarnya. Jumlah tersebut, diungkapkan Ujang, terdiri dari 660 SDN, 105 SMPN, 28 SMAN, dan 16 SMKN.
Kondisi di lapangan juga memberikan kenyataan bahwa 18 persen gedung dalam kondisi ambruk, 22, 2 persen kondisi rusak berat, dan 13 persen kondisi rusak sedang
HSBC Dan UNICEF galang dana untuk pendidikan di Indonesia
Oleh Ester Lince Napitupulu
Kamis, 28 Agustus 2008 | 09:56 WIB
Kompas.com
JAKARTA, RABU - HSBC dan Unicef menggalang dana melalui serangkaian HSBC Invitational Golf Tournaments yang dilaksanakan di Indonesia, Filipina dan Hong Kong. Di Indonesia, turnamen yang diselenggarakan di Riverside Golf and Country Club di Cimanggis, Bogor pada Rabu (27/8).
Dalam turnamen kali ini, sebagaimana disampaikan dalam siaran pers, telah berhasil dikumpulkan dana sebesar Rp6,9 juta dan 14.250 dollar AS. Dana ini akan digunakan oleh HSBC dan Unicef untuk mengembangkan lingkungan belajar yang lebih baik dan lebih kondusif bagi anak-anak kurang mampu.
Bentuknya adalah pembiayaan program ‘Child-Friendly Schools and Learning Communities for Children’ (CFS-LCC)’ Unicef. Program ini bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan melalui implementasi 3 pilar utama yakni Manajemen Sekolah, Active, Joyful and Effective Learning (AJEL), dan Partisipasi Masyarakat.
Sampai saat ini, program CFS-LCC telah dilakukan di hampir 3.000 sekolah dasar di 75 kecamatan yang dipilih di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Sumatera Utara, dan Aceh.
Kamis, 28 Agustus 2008 | 09:56 WIB
Kompas.com
JAKARTA, RABU - HSBC dan Unicef menggalang dana melalui serangkaian HSBC Invitational Golf Tournaments yang dilaksanakan di Indonesia, Filipina dan Hong Kong. Di Indonesia, turnamen yang diselenggarakan di Riverside Golf and Country Club di Cimanggis, Bogor pada Rabu (27/8).
Dalam turnamen kali ini, sebagaimana disampaikan dalam siaran pers, telah berhasil dikumpulkan dana sebesar Rp6,9 juta dan 14.250 dollar AS. Dana ini akan digunakan oleh HSBC dan Unicef untuk mengembangkan lingkungan belajar yang lebih baik dan lebih kondusif bagi anak-anak kurang mampu.
Bentuknya adalah pembiayaan program ‘Child-Friendly Schools and Learning Communities for Children’ (CFS-LCC)’ Unicef. Program ini bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan melalui implementasi 3 pilar utama yakni Manajemen Sekolah, Active, Joyful and Effective Learning (AJEL), dan Partisipasi Masyarakat.
Sampai saat ini, program CFS-LCC telah dilakukan di hampir 3.000 sekolah dasar di 75 kecamatan yang dipilih di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Sumatera Utara, dan Aceh.
Label:
2. Manajemen pembiayaan
Pencairan dana BOS telat
Minggu, 6 Juli 2008 | 19:44 WIB
Kompas.com
JAKARTA, MINGGU - Pencairan dana bantuan operasional sekolah atau BOS periode triwulan Juli - September belum juga diterima sekolah-sekolah. Akibatnya, sekolah kebingungan mencari dana, padahal dana itu dibutuhkan untuk proses pendaftaran siswa baru.
Suyanto, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, di Jakarta, Minggu (6/7) malam, mengatakan pencairan dana BOS terlambat karena menunggu revisi dari Departemen Keuangan terkait tidak adanya pemotongan dana BOS sebagai langkah pemerintah dalam penghematan anggaran akibat naiknya BBM. Pencairan dana BOS untuk triwulan Juli - September 2008 terlambat sekitar seminggu dari jadwal biasa, namun mulai pekan ini pemerintah provinsi sudah bisa mengurus pengajuan pencairan dana BOS.
"Dalam pembahasan Depdiknas dengan DPR, dana BOS disetujui untuk tidak dipotong. Sebelumnya ada usulan untuk dipotong sebagai langkah penghematan pemerintah untuk mengantisipasi naiknya BBM. Karena tidak jadi, Departemen Keuangan harus merevisi DIPA jika dana BOS triwulan ketiga ini tidak ada pemotongan. Terlambatnya karena menunggu revisi itu saja. Dana BOS itu tetap ada, jadi sekolah tidak perlu khawatir," kata Suyanto.
Menurut Suyanto, masih banyak pemerintah daerah hanya mengandalkan dana BOS dari pemerintah pusat dalam pembiayaan pendidikan di sekolah-sekolah di daerah mereka. Akibatnya, sekolah-sekolah menjerit jika kucuran BOS terlambat dicairkan karena sekolah tidak punya dana cadangan dari pemerintah daerah.
"Masyarakat di daerah perlu kritis juga terhadap kampanye pendidikan gratis yang dilakukan calon gubernur, walikota, atau bupati di daerahnya. Sebab, kampanye pendidikan gratis itu sering hanya mengandalkan dana BOS, tanpa ada tambahan dana lagi dari anggaran daerah. Padahal dana BOS itu saat ini baru cukup untuk sepertiga dari biaya operasional sekolah yang ideal," kata Suyanto.
Dana BOS yang diberikan untuk siswa SD dan SMP itu antara lain untuk membiayai kegiatan belajar dan mengajar di sekolah sehingga tidak ada lagi pembayaran iuran bulanan, pendaftaran siswa baru, buku, dan honor guru sukarelawan.
Kompas.com
JAKARTA, MINGGU - Pencairan dana bantuan operasional sekolah atau BOS periode triwulan Juli - September belum juga diterima sekolah-sekolah. Akibatnya, sekolah kebingungan mencari dana, padahal dana itu dibutuhkan untuk proses pendaftaran siswa baru.
Suyanto, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, di Jakarta, Minggu (6/7) malam, mengatakan pencairan dana BOS terlambat karena menunggu revisi dari Departemen Keuangan terkait tidak adanya pemotongan dana BOS sebagai langkah pemerintah dalam penghematan anggaran akibat naiknya BBM. Pencairan dana BOS untuk triwulan Juli - September 2008 terlambat sekitar seminggu dari jadwal biasa, namun mulai pekan ini pemerintah provinsi sudah bisa mengurus pengajuan pencairan dana BOS.
"Dalam pembahasan Depdiknas dengan DPR, dana BOS disetujui untuk tidak dipotong. Sebelumnya ada usulan untuk dipotong sebagai langkah penghematan pemerintah untuk mengantisipasi naiknya BBM. Karena tidak jadi, Departemen Keuangan harus merevisi DIPA jika dana BOS triwulan ketiga ini tidak ada pemotongan. Terlambatnya karena menunggu revisi itu saja. Dana BOS itu tetap ada, jadi sekolah tidak perlu khawatir," kata Suyanto.
Menurut Suyanto, masih banyak pemerintah daerah hanya mengandalkan dana BOS dari pemerintah pusat dalam pembiayaan pendidikan di sekolah-sekolah di daerah mereka. Akibatnya, sekolah-sekolah menjerit jika kucuran BOS terlambat dicairkan karena sekolah tidak punya dana cadangan dari pemerintah daerah.
"Masyarakat di daerah perlu kritis juga terhadap kampanye pendidikan gratis yang dilakukan calon gubernur, walikota, atau bupati di daerahnya. Sebab, kampanye pendidikan gratis itu sering hanya mengandalkan dana BOS, tanpa ada tambahan dana lagi dari anggaran daerah. Padahal dana BOS itu saat ini baru cukup untuk sepertiga dari biaya operasional sekolah yang ideal," kata Suyanto.
Dana BOS yang diberikan untuk siswa SD dan SMP itu antara lain untuk membiayai kegiatan belajar dan mengajar di sekolah sehingga tidak ada lagi pembayaran iuran bulanan, pendaftaran siswa baru, buku, dan honor guru sukarelawan.
Label:
2. Manajemen pembiayaan
Alokasi anggaran pendidikan di era otonomi daerah
Oleh Nina Toyamah,
Syaikhu Usman groups.yahoo.com
Tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan dasar masih sangat besar, lebih dari 90% sekolah dasar (SD) berstatus sebagai milik pemerintah. Sementara itu tekad untuk memperbaiki pelayanan pendidikan dasar masih dihadapkan pada persoalan tidak meratanya kesempatan, rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan, serta lemahnya manajemen penyelenggaraan pendidikan. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah dituntut untuk melakukan berbagai program pembangunan pendidikan, dibarengi dengan tekad untuk memprioritaskan alokasi anggaran pada sektor pendidikan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 20, 2003 tentang Sisdiknas, dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan mendapat alokasi minimal 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan daerah (APBN dan APBD).
Kertas Kerja ini membahas perubahan alokasi anggaran di bidang pendidikan antara sebelum dan setelah pelaksanaan otonomi daerah1 serta potensi implikasinya terhadap kondisi pelayanan pendidikan dasar. Hasil survei SMERU bekerjasama dengan Bank Dunia tentang pelayanan pendidikan dasar pada tahun 2002 di lima kabupaten dan lima kota sampel serta beberapa hasil penelitian SMERU lainnya melengkapi analisis dalam laporan ini.
Penerapan mekanisme aliran dana dari pusat ke daerah melalui dana perimbangan, khususnya melalui dana alokasi umum (DAU) yang bersifat 'block grant', diharapkan memberikan kepastian dan keleluasaan kepada pemerintah daerah (pemda) dalam menerima dan mengalokasikan anggarannya. Di samping itu, terdapat dana lain yang mengalir ke daerah, yaitu melalui mekanisme pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Secara agregat, jumlah dana yang dikelola pemda provinsi dan kabupaten/kota setelah otonomi daerah mengalami peningkatan cukup tajam. Dana dari pusat mendominasi sumber penerimaan daerah. Kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) terhadap penerimaan provinsi rata-rata sepertiga dari total penerimaan, sedangkan di tingkat kabupaten/kota kurang dari 10%. Demikian pula di kabupaten/kota sampel, lebih dari 70% penerimaan daerah berasal dari DAU, kecuali untuk Kota Pekanbaru, Kota Cilegon, dan Kota Bandung yang proporsi penerimaan DAU-nya kurang dari 50%. Kota-kota tersebut memiliki sumber penerimaan cukup besar dari bagi hasil bukan pajak dan/atau pajak. Sumbangan PAD terhadap total penerimaan daerah kabupaten berkisar antara 7-8%, dan untuk daerah kota mencapai lebih dari 10%, di Kota Cilegon bahkan lebih dari 20%.
Belanja rutin mendominasi pengeluaran pemerintah pusat dan daerah. Sebagian besar belanja rutin daerah dialokasikan untuk belanja pegawai. Setelah otonomi daerah (TA 2002), belanja pegawai daerah meningkat hampir tiga kali lipat dibanding pada TA 1999/2000. Kenaikan ini disebabkan banyaknya alih status pegawai dari pusat ke daerah, terutama ke tingkat kabupaten/kota.
Selama tiga tahun pelaksanaan otonomi daerah, belanja rutin pemerintah pusat untuk sektor pendidikan dan kebudayaan rata-rata kurang dari 3%, sementara untuk sektor perdagangan rata-rata mencapai 80%. Namun, sektor pendidikan dan kebudayaan menerima alokasi belanja pembangunan pemerintah pusat terbesar, yaitu lebih dari 20% dengan kecenderungan terus meningkat.
Secara agregat, proporsi alokasi belanja pembangunan di tingkat provinsi dan di tingkat kabupaten/kota setelah otonomi daerah juga meningkat, baik secara total maupun sektoral. Sektor pendidikan dan kebudayaan adalah penerima proporsi belanja pembangunan terbesar ketiga setelah sektor transportasi dan sektor aparatur pemerintah dengan kecenderungan yang juga meningkat. Namun, di kabupaten/kota sampel studi SMERU menunjukkan bahwa proporsi anggaran pembangunan sektor pendidikan realisasi 2001 dan rencana 2002 rata-rata sekitar 8% dari total anggaran pembangunan atau sekitar 2% dari total belanja APBD. Proporsi anggaran ini menurun jika dibandingkan dengan sebelum otonomi daerah (1999/2000) yang masing-masing mencapai sekitar 11% dan 3%.
Pada TA 2001 dan 2002 anggaran yang dikelola Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten/kota mencapai lebih dari 30% dari total APBD merupakan penerima anggaran terbesar dibandingkan yang diterima dinas lainnya. Proporsi anggaran belanja pegawai mencapai lebih dari 40% dari total anggaran rutin APBD atau sekitar 90% dari total anggaran dinas tersebut. Hal ini disebabkan karena bagian terbesar pegawai daerah adalah guru. Hanya Kota Pasuruan dan Kota Cilegon yang telah mengalokasikan dana pendidikan di luar belanja pegawai lebih dari 20% dari APBDnya. Dalam waktu dekat, bagi sebagian besar daerah akan sulit memenuhi anggaran pendidikan minimal 20% dari APBDnya.
Penetapan besarnya anggaran program pembinaan pendidikan dasar (SDN) sepenuhnya menjadi kewenangan pemda. Oleh karenanya, antara satu daerah dengan daerah lain terdapat bentuk program dan alokasi anggaran yang bervariasi. Sebagian besar anggaran program pembinaan digunakan untuk pembangunan atau pengembangan SD/MI (Madrasah Ibtidaiyah) yang lebih bersifat fisik. Akibatnya, pembiayaan untuk menunjang kegiatan belajar mengajar cenderung rendah. Kemudian dilihat dari keterkaitan antara rumusan visi dan misi daerah dengan alokasi anggarannya, sebagian besar daerah sampel tidak secara konsisten mengaitkan antara keduanya. Daerah yang secara tegas menyebut "pendidikan" dalam visi dan misinya, ternyata tidak satu pun menempatkan sektor pendidikan ke dalam tiga besar penerima anggaran pembangunan. Sebaliknya, Kabupaten Lombok Barat dan Kota Pasuruan yang tidak menyebut secara tegas sektor "pendidikan" dalam visi dan misinya, justeru menempatkan sektor pendidikan ke dalam tiga besar penerima anggaran pembangunan.
Dana yang langsung diterima SD Negeri dari anggaran pembangunan adalah bantuan dana operasional dan pemeliharaan (DOP), sedangkan dari anggaran rutin berupa sumbangan biaya penyelenggaraan pendidikan (SBPP). Namun pengalokasian dana-dana tersebut tidak dilakukan setiap tahun oleh semua kabupaten/kota. Selain itu, dalam kenyataannya tidak semua dana digunakan secara langsung untuk proses belajar- mengajar di dalam kelas. Di beberapa daerah dana tersebut digunakan untuk biaya kantor, perjalanan dinas, dan kesejahteraan pegawai.
Salah satu upaya untuk menambah dana operasional sekolah adalah melalui pelibatan orang tua murid dalam pembiayaan pendidikan. Hasil temuan SMERU menunjukkan, jika dibandingkan dengan dana yang diperoleh langsung dari pemerintah, kontribusi orang tua murid cenderung lebih besar. Padahal akibat krisis ekonomi, sampai sekarang upaya menarik partisipasi masyarakat masih sulit. Di samping itu, selama lebih dari tiga dekade partisipasi masyarakat cenderung terabaikan oleh adanya berbagai program bantuan dan subsidi pemerintah.
Terlepas dari persoalan anggaran, hasil pengamatan SMERU menunjukkan bahwa hambatan di bidang pendidikan yang dihadapi daerah sejak sebelum otonomi daerah hingga kini belum banyak bergeser. Persoalannya masih di sekitar permasalahan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak lengkap, jumlah dan mutu tenaga yang kurang dengan ketersebaran yang tidak merata. Akibatnya, kegiatan belajar-mengajar yang mengarah pada upaya perbaikan hasil belajar sulit terwujud. Banyak pihak menilai pengelolaan pelayanan pendidikan dasar di era otonomi daerah tidak menunjukkan perobahan berarti, bahkan cenderung memburuk.
Pendidikan di Indonesia menghadapi dilema terbatasnya anggaran di satu pihak dan tuntutan peningkatan mutu di lain pihak. Anggaran memang penting, tetapi yang lebih diperlukan adalah adanya kesepakatan nasional tentang kebijakan pembangunan pendidikan yang didukung oleh kebersamaan tekad untuk melaksanakannya. Oleh karenanya langkah pertama yang harus dilakukan adalah mempraktekkan keterbukaan dan pengefisienan penggunaan anggaran yang tersedia. Pemerintah pusat dan daerah harus berupaya mencegah dan menekan kebocoran anggaran. Bersamaan dengan itu pemerintah pusat harus bertanggungjawab dalam menghindari terjadinya kesenjangan yang mencolok antar daerah, baik dalam proses maupun kinerja sektor pendidikan. Di samping itu semua, dialog terbuka dan berkesinambungan dengan masyarakat harus terus dijalin
Syaikhu Usman groups.yahoo.com
Tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan dasar masih sangat besar, lebih dari 90% sekolah dasar (SD) berstatus sebagai milik pemerintah. Sementara itu tekad untuk memperbaiki pelayanan pendidikan dasar masih dihadapkan pada persoalan tidak meratanya kesempatan, rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan, serta lemahnya manajemen penyelenggaraan pendidikan. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah dituntut untuk melakukan berbagai program pembangunan pendidikan, dibarengi dengan tekad untuk memprioritaskan alokasi anggaran pada sektor pendidikan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 20, 2003 tentang Sisdiknas, dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan mendapat alokasi minimal 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan daerah (APBN dan APBD).
Kertas Kerja ini membahas perubahan alokasi anggaran di bidang pendidikan antara sebelum dan setelah pelaksanaan otonomi daerah1 serta potensi implikasinya terhadap kondisi pelayanan pendidikan dasar. Hasil survei SMERU bekerjasama dengan Bank Dunia tentang pelayanan pendidikan dasar pada tahun 2002 di lima kabupaten dan lima kota sampel serta beberapa hasil penelitian SMERU lainnya melengkapi analisis dalam laporan ini.
Penerapan mekanisme aliran dana dari pusat ke daerah melalui dana perimbangan, khususnya melalui dana alokasi umum (DAU) yang bersifat 'block grant', diharapkan memberikan kepastian dan keleluasaan kepada pemerintah daerah (pemda) dalam menerima dan mengalokasikan anggarannya. Di samping itu, terdapat dana lain yang mengalir ke daerah, yaitu melalui mekanisme pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Secara agregat, jumlah dana yang dikelola pemda provinsi dan kabupaten/kota setelah otonomi daerah mengalami peningkatan cukup tajam. Dana dari pusat mendominasi sumber penerimaan daerah. Kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) terhadap penerimaan provinsi rata-rata sepertiga dari total penerimaan, sedangkan di tingkat kabupaten/kota kurang dari 10%. Demikian pula di kabupaten/kota sampel, lebih dari 70% penerimaan daerah berasal dari DAU, kecuali untuk Kota Pekanbaru, Kota Cilegon, dan Kota Bandung yang proporsi penerimaan DAU-nya kurang dari 50%. Kota-kota tersebut memiliki sumber penerimaan cukup besar dari bagi hasil bukan pajak dan/atau pajak. Sumbangan PAD terhadap total penerimaan daerah kabupaten berkisar antara 7-8%, dan untuk daerah kota mencapai lebih dari 10%, di Kota Cilegon bahkan lebih dari 20%.
Belanja rutin mendominasi pengeluaran pemerintah pusat dan daerah. Sebagian besar belanja rutin daerah dialokasikan untuk belanja pegawai. Setelah otonomi daerah (TA 2002), belanja pegawai daerah meningkat hampir tiga kali lipat dibanding pada TA 1999/2000. Kenaikan ini disebabkan banyaknya alih status pegawai dari pusat ke daerah, terutama ke tingkat kabupaten/kota.
Selama tiga tahun pelaksanaan otonomi daerah, belanja rutin pemerintah pusat untuk sektor pendidikan dan kebudayaan rata-rata kurang dari 3%, sementara untuk sektor perdagangan rata-rata mencapai 80%. Namun, sektor pendidikan dan kebudayaan menerima alokasi belanja pembangunan pemerintah pusat terbesar, yaitu lebih dari 20% dengan kecenderungan terus meningkat.
Secara agregat, proporsi alokasi belanja pembangunan di tingkat provinsi dan di tingkat kabupaten/kota setelah otonomi daerah juga meningkat, baik secara total maupun sektoral. Sektor pendidikan dan kebudayaan adalah penerima proporsi belanja pembangunan terbesar ketiga setelah sektor transportasi dan sektor aparatur pemerintah dengan kecenderungan yang juga meningkat. Namun, di kabupaten/kota sampel studi SMERU menunjukkan bahwa proporsi anggaran pembangunan sektor pendidikan realisasi 2001 dan rencana 2002 rata-rata sekitar 8% dari total anggaran pembangunan atau sekitar 2% dari total belanja APBD. Proporsi anggaran ini menurun jika dibandingkan dengan sebelum otonomi daerah (1999/2000) yang masing-masing mencapai sekitar 11% dan 3%.
Pada TA 2001 dan 2002 anggaran yang dikelola Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten/kota mencapai lebih dari 30% dari total APBD merupakan penerima anggaran terbesar dibandingkan yang diterima dinas lainnya. Proporsi anggaran belanja pegawai mencapai lebih dari 40% dari total anggaran rutin APBD atau sekitar 90% dari total anggaran dinas tersebut. Hal ini disebabkan karena bagian terbesar pegawai daerah adalah guru. Hanya Kota Pasuruan dan Kota Cilegon yang telah mengalokasikan dana pendidikan di luar belanja pegawai lebih dari 20% dari APBDnya. Dalam waktu dekat, bagi sebagian besar daerah akan sulit memenuhi anggaran pendidikan minimal 20% dari APBDnya.
Penetapan besarnya anggaran program pembinaan pendidikan dasar (SDN) sepenuhnya menjadi kewenangan pemda. Oleh karenanya, antara satu daerah dengan daerah lain terdapat bentuk program dan alokasi anggaran yang bervariasi. Sebagian besar anggaran program pembinaan digunakan untuk pembangunan atau pengembangan SD/MI (Madrasah Ibtidaiyah) yang lebih bersifat fisik. Akibatnya, pembiayaan untuk menunjang kegiatan belajar mengajar cenderung rendah. Kemudian dilihat dari keterkaitan antara rumusan visi dan misi daerah dengan alokasi anggarannya, sebagian besar daerah sampel tidak secara konsisten mengaitkan antara keduanya. Daerah yang secara tegas menyebut "pendidikan" dalam visi dan misinya, ternyata tidak satu pun menempatkan sektor pendidikan ke dalam tiga besar penerima anggaran pembangunan. Sebaliknya, Kabupaten Lombok Barat dan Kota Pasuruan yang tidak menyebut secara tegas sektor "pendidikan" dalam visi dan misinya, justeru menempatkan sektor pendidikan ke dalam tiga besar penerima anggaran pembangunan.
Dana yang langsung diterima SD Negeri dari anggaran pembangunan adalah bantuan dana operasional dan pemeliharaan (DOP), sedangkan dari anggaran rutin berupa sumbangan biaya penyelenggaraan pendidikan (SBPP). Namun pengalokasian dana-dana tersebut tidak dilakukan setiap tahun oleh semua kabupaten/kota. Selain itu, dalam kenyataannya tidak semua dana digunakan secara langsung untuk proses belajar- mengajar di dalam kelas. Di beberapa daerah dana tersebut digunakan untuk biaya kantor, perjalanan dinas, dan kesejahteraan pegawai.
Salah satu upaya untuk menambah dana operasional sekolah adalah melalui pelibatan orang tua murid dalam pembiayaan pendidikan. Hasil temuan SMERU menunjukkan, jika dibandingkan dengan dana yang diperoleh langsung dari pemerintah, kontribusi orang tua murid cenderung lebih besar. Padahal akibat krisis ekonomi, sampai sekarang upaya menarik partisipasi masyarakat masih sulit. Di samping itu, selama lebih dari tiga dekade partisipasi masyarakat cenderung terabaikan oleh adanya berbagai program bantuan dan subsidi pemerintah.
Terlepas dari persoalan anggaran, hasil pengamatan SMERU menunjukkan bahwa hambatan di bidang pendidikan yang dihadapi daerah sejak sebelum otonomi daerah hingga kini belum banyak bergeser. Persoalannya masih di sekitar permasalahan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak lengkap, jumlah dan mutu tenaga yang kurang dengan ketersebaran yang tidak merata. Akibatnya, kegiatan belajar-mengajar yang mengarah pada upaya perbaikan hasil belajar sulit terwujud. Banyak pihak menilai pengelolaan pelayanan pendidikan dasar di era otonomi daerah tidak menunjukkan perobahan berarti, bahkan cenderung memburuk.
Pendidikan di Indonesia menghadapi dilema terbatasnya anggaran di satu pihak dan tuntutan peningkatan mutu di lain pihak. Anggaran memang penting, tetapi yang lebih diperlukan adalah adanya kesepakatan nasional tentang kebijakan pembangunan pendidikan yang didukung oleh kebersamaan tekad untuk melaksanakannya. Oleh karenanya langkah pertama yang harus dilakukan adalah mempraktekkan keterbukaan dan pengefisienan penggunaan anggaran yang tersedia. Pemerintah pusat dan daerah harus berupaya mencegah dan menekan kebocoran anggaran. Bersamaan dengan itu pemerintah pusat harus bertanggungjawab dalam menghindari terjadinya kesenjangan yang mencolok antar daerah, baik dalam proses maupun kinerja sektor pendidikan. Di samping itu semua, dialog terbuka dan berkesinambungan dengan masyarakat harus terus dijalin
Label:
2. Manajemen pembiayaan
Pemerinth lambt ajukan RUU BHP Ke DPR
Rabu, 03/05/2006 16:23:36
Zuber Safawi, SHI, Ketua Komisi X DPR-RI
Kompas.com
Fraksi-PKS Online: RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) diperlukan guna mencegah kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan. Lambatnya proses pembahasan RUU itu disebabkan pemerintah belum menunjuk instansi terkait sebagai mitra untuk membahas RUU itu dengan DPR.
Ketua Komisi X DPR RI Zuber Safawi mengemukakan hal tersebut saat membuka Lokakarya RUU BHP, yang diprakarsai anggota Komisi X DPR dari Fraksi PKS, di Kantor FPKS DPR RI, Rabu (3/5).
Menurut Zuber, selama ini beban pembiayaan pendidikan menjadi faktor terhambatnya akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan. Dengan dibentuknya sebuah badan hukum semacam BHP, segala hal yang membatasi akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan bisa terpecahkan. "Keberadaan BHP diharapkan bisa atasi hambatan ini," harap Zuber.
Selain itu, lanjut dia, keberadaan RUU BHP merupakan amanat UU No. 20/2003, dimana penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum.
DPR sendiri telah menargetkan RUU BHP selesai paling lambat akhir tahun ini, karena telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2006. Semestinya, kata Zuber, menurut Undang-Undang Sisdiknas pasal 75 Bab XXII, RUU BHP harus selesai paling lambat Juli 2005 lalu.
Lambatnya proses pembahasan RUU BHP, ungkap Zuber, karena DPR masih menunggu Surat Presiden yang menunjuk instansi yang akan menjadi mitra DPR. "Kita tunggu Surpres (Surat Presiden) agar ada mitra untuk membahas soal itu," katanya.
Namun demikian, Zuber memberi beberapa catatan terhadap draft RUU tersebut. Sejauh ini, katanya, pembahasan baru sebatas menyangkut peningkatan mutu pendidikan. Sementara, pembahasan yang menyangkut beban pembiayaan belum diakomodasi dalam draft RUU BHP.
Zuber menjelaskan, kendala dalam meningkatkan kualitas peserta didik dan tenaga didik, salah satu penyebabnya adalah terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana. "Kewajiban pemerintah dan swasta dalam pembiayaan tersebut," ujarnya.
Senada dengan Zuber, Heri Suhardiyanto, Wakil Rektor II IPB, yang juga bertindak sebagai narasumber dalam Lokakarya tersebut berpendapat, RUU BHP harus memberikan jaminan agar ada bantuan untuk mahasiswa yang tidak mampu tapi pandai.
"Pemerintah juga perlu memberikan keringanan pajak untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat pendidikan, penelitian, dan pemberdayaan masyarakat," desak Heri. (mca)
Zuber Safawi, SHI, Ketua Komisi X DPR-RI
Kompas.com
Fraksi-PKS Online: RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) diperlukan guna mencegah kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan. Lambatnya proses pembahasan RUU itu disebabkan pemerintah belum menunjuk instansi terkait sebagai mitra untuk membahas RUU itu dengan DPR.
Ketua Komisi X DPR RI Zuber Safawi mengemukakan hal tersebut saat membuka Lokakarya RUU BHP, yang diprakarsai anggota Komisi X DPR dari Fraksi PKS, di Kantor FPKS DPR RI, Rabu (3/5).
Menurut Zuber, selama ini beban pembiayaan pendidikan menjadi faktor terhambatnya akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan. Dengan dibentuknya sebuah badan hukum semacam BHP, segala hal yang membatasi akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan bisa terpecahkan. "Keberadaan BHP diharapkan bisa atasi hambatan ini," harap Zuber.
Selain itu, lanjut dia, keberadaan RUU BHP merupakan amanat UU No. 20/2003, dimana penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum.
DPR sendiri telah menargetkan RUU BHP selesai paling lambat akhir tahun ini, karena telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2006. Semestinya, kata Zuber, menurut Undang-Undang Sisdiknas pasal 75 Bab XXII, RUU BHP harus selesai paling lambat Juli 2005 lalu.
Lambatnya proses pembahasan RUU BHP, ungkap Zuber, karena DPR masih menunggu Surat Presiden yang menunjuk instansi yang akan menjadi mitra DPR. "Kita tunggu Surpres (Surat Presiden) agar ada mitra untuk membahas soal itu," katanya.
Namun demikian, Zuber memberi beberapa catatan terhadap draft RUU tersebut. Sejauh ini, katanya, pembahasan baru sebatas menyangkut peningkatan mutu pendidikan. Sementara, pembahasan yang menyangkut beban pembiayaan belum diakomodasi dalam draft RUU BHP.
Zuber menjelaskan, kendala dalam meningkatkan kualitas peserta didik dan tenaga didik, salah satu penyebabnya adalah terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana. "Kewajiban pemerintah dan swasta dalam pembiayaan tersebut," ujarnya.
Senada dengan Zuber, Heri Suhardiyanto, Wakil Rektor II IPB, yang juga bertindak sebagai narasumber dalam Lokakarya tersebut berpendapat, RUU BHP harus memberikan jaminan agar ada bantuan untuk mahasiswa yang tidak mampu tapi pandai.
"Pemerintah juga perlu memberikan keringanan pajak untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat pendidikan, penelitian, dan pemberdayaan masyarakat," desak Heri. (mca)
Label:
2. Manajemen pembiayaan
Berlakukan sistem subsidi silang di sekolah
Minggu, 20 Juli 2008 | 18:55 WIB
Kompas.com
BANDUNG, MINGGU - Sekolah harus bisa memberi akses bagi masyarakat tidak mampu. Di lain pihak, tetap tidak mengabaikan kualitasnya. Ini bisa ditempuh salah satunya melalui kebijakan subsidi silang pendanaan pendidikan.
Hal itu disampaikan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Barat Uu Rukmana, Minggu (20/7). Menurutnya, konsep subsidi silang jauh lebih realistis dan ideal dibandingkan ide sekolah gratis yang kini banyak digembor-gemborkan. Konsep subsidi silang menyatukan keunggulan keterbukaan akses siswa miskin tanpa meninggalkan kualitas.
"Ini semua tergantung dari peranan komite sekolah. Mereka lah yang merancang. Bagi siswa-siswa miskin, jika itu disepakati, kan bisa saja mereka dibebaskan dari biaya," ujarnya. Sebagai gantinya, mereka yang mampu itu sepantasnya membayar lebih. Peran komite sekolah, sangatlah vital dalam mewujudkan konsep ini.
Menurut Uu, pembiayaan pendidikan seringkali tidak efektif. Baik dalam tataran pelaksanaan di sekolah maupun yang dianggarkan pemerintah daerah. "Anggaran jangan banyak diarahkan pada proyek-proyek. Ini hanya akan mengundang korupsi. Sebaliknya, seharusnya lebih kongkret, mengena ke masyarakat (pendidikan) langsung," tuturnya.
Terkait persoalan pembiayaan pendidikan ini, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jabar Dadang Dally mengingatkan sekolah agar tidak memungut biaya dalam bentuk apa pun selama proses penerimaan siswa baru. Tujuannya, agar sejak awal, masyarakat punya akses pendidikan ke sekolah mana pun. Tidak terkendala biaya. Permasalahan soal biaya pendidikan di sekolah ini menjadi agenda utama di dalam pertemuan Disdik Jabar dengan ketua komite kerja kepala sekolah se-Jabar, beberapa hari lalu.
Penetapan besarnya dana sumbangan pendidikan (DSP) itu harus didasarkan atas kesepakatan bersama pengelola dengan orang tua siswa yang diwakili komite sekolah. Besarnya sumbangan diukur dari kemampuan masyarakat. Dan, tidak boleh ada unsur paksaan, ucapnya dalam siaran persnya. Dana yang masuk ke sekolah pun wajib untuk dikelola secara transparan.
Mekanisme pasar bebas
Pelaksana Tugas Wali Kota Kota Bandung Edi Siswadi menuturkan, mekanisme dana bantuan ke sekolah dari pemda ke depannya menggunakan prinsip pramida terbalik. "Ke depan, dana bantuan itu hanya akan diberikan ke sekolah-sekolah yang tidak mampu saja. Sebaliknya, sekolah-sekolah favorit tidak ada (bantuan). Menggunakan mekanisme pasar bebas saja. Sehingga, pemerintah bisa lebih fokus," ucapnya.
Dana bantuan itu bernama UYHD (uang yang harus dipertanggungjawabkan). Besaran dana ini di tiap-tiap sekolah rata-rata Rp 150 juta. Sekolah favorit mendapat porsi terkecil, yaitu Rp 90 juta. Ini terjadi karena sekolah favorit dinilai mampu mendanai kebutuhannya sendiri, karena tingginya minat masyarakat.
Kompas.com
BANDUNG, MINGGU - Sekolah harus bisa memberi akses bagi masyarakat tidak mampu. Di lain pihak, tetap tidak mengabaikan kualitasnya. Ini bisa ditempuh salah satunya melalui kebijakan subsidi silang pendanaan pendidikan.
Hal itu disampaikan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Barat Uu Rukmana, Minggu (20/7). Menurutnya, konsep subsidi silang jauh lebih realistis dan ideal dibandingkan ide sekolah gratis yang kini banyak digembor-gemborkan. Konsep subsidi silang menyatukan keunggulan keterbukaan akses siswa miskin tanpa meninggalkan kualitas.
"Ini semua tergantung dari peranan komite sekolah. Mereka lah yang merancang. Bagi siswa-siswa miskin, jika itu disepakati, kan bisa saja mereka dibebaskan dari biaya," ujarnya. Sebagai gantinya, mereka yang mampu itu sepantasnya membayar lebih. Peran komite sekolah, sangatlah vital dalam mewujudkan konsep ini.
Menurut Uu, pembiayaan pendidikan seringkali tidak efektif. Baik dalam tataran pelaksanaan di sekolah maupun yang dianggarkan pemerintah daerah. "Anggaran jangan banyak diarahkan pada proyek-proyek. Ini hanya akan mengundang korupsi. Sebaliknya, seharusnya lebih kongkret, mengena ke masyarakat (pendidikan) langsung," tuturnya.
Terkait persoalan pembiayaan pendidikan ini, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jabar Dadang Dally mengingatkan sekolah agar tidak memungut biaya dalam bentuk apa pun selama proses penerimaan siswa baru. Tujuannya, agar sejak awal, masyarakat punya akses pendidikan ke sekolah mana pun. Tidak terkendala biaya. Permasalahan soal biaya pendidikan di sekolah ini menjadi agenda utama di dalam pertemuan Disdik Jabar dengan ketua komite kerja kepala sekolah se-Jabar, beberapa hari lalu.
Penetapan besarnya dana sumbangan pendidikan (DSP) itu harus didasarkan atas kesepakatan bersama pengelola dengan orang tua siswa yang diwakili komite sekolah. Besarnya sumbangan diukur dari kemampuan masyarakat. Dan, tidak boleh ada unsur paksaan, ucapnya dalam siaran persnya. Dana yang masuk ke sekolah pun wajib untuk dikelola secara transparan.
Mekanisme pasar bebas
Pelaksana Tugas Wali Kota Kota Bandung Edi Siswadi menuturkan, mekanisme dana bantuan ke sekolah dari pemda ke depannya menggunakan prinsip pramida terbalik. "Ke depan, dana bantuan itu hanya akan diberikan ke sekolah-sekolah yang tidak mampu saja. Sebaliknya, sekolah-sekolah favorit tidak ada (bantuan). Menggunakan mekanisme pasar bebas saja. Sehingga, pemerintah bisa lebih fokus," ucapnya.
Dana bantuan itu bernama UYHD (uang yang harus dipertanggungjawabkan). Besaran dana ini di tiap-tiap sekolah rata-rata Rp 150 juta. Sekolah favorit mendapat porsi terkecil, yaitu Rp 90 juta. Ini terjadi karena sekolah favorit dinilai mampu mendanai kebutuhannya sendiri, karena tingginya minat masyarakat.
Label:
2. Manajemen pembiayaan
Sekolah gratis untuk tebus ketertinggalan
Kompas.kom
Sabtu, 09 April 2005
MEANG(30), warga Siem Reap, Kamboja, masih ingat ketika pergolakan sipil terkadang masih meletup. Terekam di benaknya ketika dia tidak dapat pergi bersekolah selama berminggu-minggu. Di mana-mana hanya letusan senjata yang terdengar.
DI SAAT seperti itu, ibu Meang biasanya mempercepat memasak makanan untuk seluruh keluarga dan kemudian mereka masuk ke bungker yang memuat 5-6 orang. Mereka tidur di ruang sempit bawah tanah itu sampai pagi.
"Demikian setiap hari sampai keadaan mereda. Malam hari berbahaya," kata Meang yang saat itu (1980-an) tinggal di sebuah dusun di Provinsi Siem Reap.
Pria yang sekarang menjadi sopir sewaan turis tersebut bahkan masih merasa beruntung dibandingkan dengan warga di perbatasan, terutama daerah dekat Thailand. Menurut Meang, di perbatasan baku tembak lebih sering pecah.
"Barangkali mereka yang hidup di kota seperti Phnom Penh tidak separah kami yang berada di pedesaan atau perbatasan, di mana letusan senjata terkadang begitu dekat di telinga. Jangan dibandingkan pendidikan kami di desa dengan yang di perkotaan. Kami yang di desa jauh tertinggal," katanya lagi.
Belum lagi ancaman ranjau darat yang siap merenggut langkah riang anak-anak. Dengan kondisi perang itulah Meang hanya menamatkan pendidikan sampai SMP. Tapi, menurutnya, itu masih lebih baik karena banyak anak yang akhirnya tidak dapat menamatkan pendidikan dasar sekalipun.
Meang yang sederhana dengan yakin mengatakan perang dan konflik membuat Kamboja menderita. "Kami sudah kenyang dengan perang. We have enough war," katanya.
SUNGGUH mahal harga yang harus dibayar dari sebuah konflik berkepanjangan. Setelah merdeka dari penjajahan Perancis, tahun 1953, Kamboja menjadi ajang perang antara berbagai pihak: Vietnam, Amerika Serikat, dan tentara Khmer Merah yang menyisakan cerita pembantaian sekitar 1,7 juta orang Kamboja. Perang sipil meletus pada 1970-an dan terus berlanjut hingga 1980-an. Bahkan, sampai akhir 1990-an tetap terjadi letupan-letupan.
Masa depan yang tergadaikan oleh perang itulah yang sekarang tengah ditebus oleh masyarakat Kamboja.
Perdana Menteri Kamboja Samdech Hun Sen dalam forum internasional 7th East Asia and Pacific Ministerial Consultation Meeting on Children di Siem Reap, akhir Maret lalu, mengungkapkan, setidaknya dibutuhkan waktu 29 tahun untuk memulihkan Kamboja pascaperang dan konflik.
Pascakonflik, kemiskinan jadi sumbu permasalahan. Mengutip dokumen Education for All National Plan 2003-2015 Kamboja, Human Poverty Index (HPI) di Kamboja berdasarkan versi United Nations Development Programme (UNDP) mencapai skor 42,5 persen. Sebagai perbandingan, rata-rata skor HPI negara berkembang di Asia Tenggara dan Asia Timur sekitar 25 persen. Performa penyelesaian pendidikan dasar, kesehatan, akses pelayanan sanitasi, dan gizi anak menyumbang rendahnya HPI.
Belum lagi kesenjangan sosial antara kota dan pedesaan. Masyarakat perkotaan berkesempatan memperoleh pendidikan lebih tinggi. Warga di ibu kota negara, Phnom Penh, menghabiskan 12 kali waktu lebih banyak untuk pendidikan.
Setelah situasi politik dan keamanan stabil belakangan ini, Kamboja seperti orang yang tengah bangun dari tidurnya. Dalam geliat itulah pendidikan sudah disadari sebagai infrastruktur yang sangat penting guna mengejar ketertinggalan selama ini.
Menteri Pendidikan, Pemuda, Olahraga Kamboja Kol Pheng mengungkapkan, telah dirumuskan tiga pilar pembangunan dan pendidikan yang merupakan salah satu pilar strategis bersama dengan kesehatan dan pembangunan ekonomi.
"Pendidikan termasuk yang terpenting karena sumber daya manusia merupakan kunci dan tulang punggung dari pembangunan ekonomi. Sekarang ada 3,5 juta murid di SD dan SMP, serta 50.000 siswa SMA. Jumlah partisipan pendidikan dasar melonjak setelah mandat mengutamakan pendidikan," katanya.
Selama rezim Khmer Merah, sumber daya manusia seperti profesor, pekerja intelektual, dan dokter sebagian besar terbunuh. Hanya segelintir yang tersisa. Karena itu, Kamboja memutuskan fokus merekonstruksi sumber daya manusia. Mereka percaya sumber daya manusia komponen terpenting dalam peradaban.
Pendidikan dirancang untuk jangka panjang dan pendek. Untuk jangka panjang ada National Educational Plan dengan target utama memenuhi hak pendidikan semua anak hingga grade 12 (SMA) pada 2015.
Konstitusi negara juga mengamanatkan bahwa pemerintah harus menyediakan pendidikan gratis untuk semua anak Kamboja sehingga tidak ada satu anak pun yang tertinggal. Semua harus berangkat ke sekolah, terutama dari tingkat 1-9 (SD hingga SMP).
Sebagai pendukung dalam rencana jangka pendek 2004-2008, terumus rencana pembiayaan dan sistem manajemen. Dicantumkan, pembiayaan pendidikan berpihak kepada orang miskin agar hambatan untuk bersekolah semakin kecil. Untuk itu, pemerintah membiayai anggaran operasional sekolah, terutama SD, sekaligus penghapusan semua biaya tak resmi.
Dengan kebijakan tersebut warga dapat menempuh pendidikan gratis di sekolah negeri. Bahkan, kata Kol Pheng, warga tidak perlu membayar untuk menempuh pendidikan tinggi di universitas negeri. Hanya saja, kursi yang tersedia terbatas dan diseleksi ketat sehingga sebagian besar menempuh pendidikan di universitas swasta dan terpaksa membayar.
So Pal, seorang arkeolog di Siem Reap, mengakui memang warga Kamboja tak perlu bayar uang sekolah untuk pendidikan anaknya yang duduk di SD negeri. "Hanya saja, terkadang ada oknum guru yang memberikan les wajib kepada anak- anak untuk memperoleh tambahan penghasilan. Kalau tidak mengikuti nilai anak terancam. Tetapi, itu karena guru-guru dibayar sedikit," katanya.
Perhatian Pemerintah Kamboja pada pendidikan memang luar biasa. Anggaran pendidikan terus ditingkatkan dan kini mencapai 19 persen dari anggaran belanja negara. Sebelumnya, sektor pertahanan nasional mendapatkan anggaran besar. Akan tetapi, sejak tidak perang anggaran pertahanan dikurangi dan pemerintah memprioritaskan pada pembangunan pendidikan dan kesehatan.
Kol Pheng yakin segala upaya tersebut membuat Kamboja semakin membaik. Walaupun disadari pula, pada saat Kamboja berbenah, saat itu pula negara lain terus membangun diri pula. Perang dan konflik mau tidak mau diakui sempat menahan langkah mereka di antara bangsa-bangsa yang terus berlari. (indira Permanasari)
Sabtu, 09 April 2005
MEANG(30), warga Siem Reap, Kamboja, masih ingat ketika pergolakan sipil terkadang masih meletup. Terekam di benaknya ketika dia tidak dapat pergi bersekolah selama berminggu-minggu. Di mana-mana hanya letusan senjata yang terdengar.
DI SAAT seperti itu, ibu Meang biasanya mempercepat memasak makanan untuk seluruh keluarga dan kemudian mereka masuk ke bungker yang memuat 5-6 orang. Mereka tidur di ruang sempit bawah tanah itu sampai pagi.
"Demikian setiap hari sampai keadaan mereda. Malam hari berbahaya," kata Meang yang saat itu (1980-an) tinggal di sebuah dusun di Provinsi Siem Reap.
Pria yang sekarang menjadi sopir sewaan turis tersebut bahkan masih merasa beruntung dibandingkan dengan warga di perbatasan, terutama daerah dekat Thailand. Menurut Meang, di perbatasan baku tembak lebih sering pecah.
"Barangkali mereka yang hidup di kota seperti Phnom Penh tidak separah kami yang berada di pedesaan atau perbatasan, di mana letusan senjata terkadang begitu dekat di telinga. Jangan dibandingkan pendidikan kami di desa dengan yang di perkotaan. Kami yang di desa jauh tertinggal," katanya lagi.
Belum lagi ancaman ranjau darat yang siap merenggut langkah riang anak-anak. Dengan kondisi perang itulah Meang hanya menamatkan pendidikan sampai SMP. Tapi, menurutnya, itu masih lebih baik karena banyak anak yang akhirnya tidak dapat menamatkan pendidikan dasar sekalipun.
Meang yang sederhana dengan yakin mengatakan perang dan konflik membuat Kamboja menderita. "Kami sudah kenyang dengan perang. We have enough war," katanya.
SUNGGUH mahal harga yang harus dibayar dari sebuah konflik berkepanjangan. Setelah merdeka dari penjajahan Perancis, tahun 1953, Kamboja menjadi ajang perang antara berbagai pihak: Vietnam, Amerika Serikat, dan tentara Khmer Merah yang menyisakan cerita pembantaian sekitar 1,7 juta orang Kamboja. Perang sipil meletus pada 1970-an dan terus berlanjut hingga 1980-an. Bahkan, sampai akhir 1990-an tetap terjadi letupan-letupan.
Masa depan yang tergadaikan oleh perang itulah yang sekarang tengah ditebus oleh masyarakat Kamboja.
Perdana Menteri Kamboja Samdech Hun Sen dalam forum internasional 7th East Asia and Pacific Ministerial Consultation Meeting on Children di Siem Reap, akhir Maret lalu, mengungkapkan, setidaknya dibutuhkan waktu 29 tahun untuk memulihkan Kamboja pascaperang dan konflik.
Pascakonflik, kemiskinan jadi sumbu permasalahan. Mengutip dokumen Education for All National Plan 2003-2015 Kamboja, Human Poverty Index (HPI) di Kamboja berdasarkan versi United Nations Development Programme (UNDP) mencapai skor 42,5 persen. Sebagai perbandingan, rata-rata skor HPI negara berkembang di Asia Tenggara dan Asia Timur sekitar 25 persen. Performa penyelesaian pendidikan dasar, kesehatan, akses pelayanan sanitasi, dan gizi anak menyumbang rendahnya HPI.
Belum lagi kesenjangan sosial antara kota dan pedesaan. Masyarakat perkotaan berkesempatan memperoleh pendidikan lebih tinggi. Warga di ibu kota negara, Phnom Penh, menghabiskan 12 kali waktu lebih banyak untuk pendidikan.
Setelah situasi politik dan keamanan stabil belakangan ini, Kamboja seperti orang yang tengah bangun dari tidurnya. Dalam geliat itulah pendidikan sudah disadari sebagai infrastruktur yang sangat penting guna mengejar ketertinggalan selama ini.
Menteri Pendidikan, Pemuda, Olahraga Kamboja Kol Pheng mengungkapkan, telah dirumuskan tiga pilar pembangunan dan pendidikan yang merupakan salah satu pilar strategis bersama dengan kesehatan dan pembangunan ekonomi.
"Pendidikan termasuk yang terpenting karena sumber daya manusia merupakan kunci dan tulang punggung dari pembangunan ekonomi. Sekarang ada 3,5 juta murid di SD dan SMP, serta 50.000 siswa SMA. Jumlah partisipan pendidikan dasar melonjak setelah mandat mengutamakan pendidikan," katanya.
Selama rezim Khmer Merah, sumber daya manusia seperti profesor, pekerja intelektual, dan dokter sebagian besar terbunuh. Hanya segelintir yang tersisa. Karena itu, Kamboja memutuskan fokus merekonstruksi sumber daya manusia. Mereka percaya sumber daya manusia komponen terpenting dalam peradaban.
Pendidikan dirancang untuk jangka panjang dan pendek. Untuk jangka panjang ada National Educational Plan dengan target utama memenuhi hak pendidikan semua anak hingga grade 12 (SMA) pada 2015.
Konstitusi negara juga mengamanatkan bahwa pemerintah harus menyediakan pendidikan gratis untuk semua anak Kamboja sehingga tidak ada satu anak pun yang tertinggal. Semua harus berangkat ke sekolah, terutama dari tingkat 1-9 (SD hingga SMP).
Sebagai pendukung dalam rencana jangka pendek 2004-2008, terumus rencana pembiayaan dan sistem manajemen. Dicantumkan, pembiayaan pendidikan berpihak kepada orang miskin agar hambatan untuk bersekolah semakin kecil. Untuk itu, pemerintah membiayai anggaran operasional sekolah, terutama SD, sekaligus penghapusan semua biaya tak resmi.
Dengan kebijakan tersebut warga dapat menempuh pendidikan gratis di sekolah negeri. Bahkan, kata Kol Pheng, warga tidak perlu membayar untuk menempuh pendidikan tinggi di universitas negeri. Hanya saja, kursi yang tersedia terbatas dan diseleksi ketat sehingga sebagian besar menempuh pendidikan di universitas swasta dan terpaksa membayar.
So Pal, seorang arkeolog di Siem Reap, mengakui memang warga Kamboja tak perlu bayar uang sekolah untuk pendidikan anaknya yang duduk di SD negeri. "Hanya saja, terkadang ada oknum guru yang memberikan les wajib kepada anak- anak untuk memperoleh tambahan penghasilan. Kalau tidak mengikuti nilai anak terancam. Tetapi, itu karena guru-guru dibayar sedikit," katanya.
Perhatian Pemerintah Kamboja pada pendidikan memang luar biasa. Anggaran pendidikan terus ditingkatkan dan kini mencapai 19 persen dari anggaran belanja negara. Sebelumnya, sektor pertahanan nasional mendapatkan anggaran besar. Akan tetapi, sejak tidak perang anggaran pertahanan dikurangi dan pemerintah memprioritaskan pada pembangunan pendidikan dan kesehatan.
Kol Pheng yakin segala upaya tersebut membuat Kamboja semakin membaik. Walaupun disadari pula, pada saat Kamboja berbenah, saat itu pula negara lain terus membangun diri pula. Perang dan konflik mau tidak mau diakui sempat menahan langkah mereka di antara bangsa-bangsa yang terus berlari. (indira Permanasari)
Label:
2. Manajemen pembiayaan
Sekolah Gratis
sekolahgratis.info/tentang-sekolah-gratis
Anak Indonesia Bebas Biaya Sekolah!
Ada kabar gembira bagi pendidikan Indonesia ! di Januari 2009 ini anak-anak Indonesia usia SD dan SMP dapat menikmati Sekolah bebas SPP.Sebuah harapan yang sudah lama diidam-idamkan , Sekolah Indonesia bebas biaya.Para orang tua bisa bernafas lega karena Departemen Pendidikan Nasional mengeluarkan kebijakan yang memberlakukan sekolah gratis, terutama pada sekolah negeri tingkat pendidikan dasa mulai SD sampai SMP.
Hal tersebut terwujud berkat adanya kenaikan jumlah biaya santunan BOS (Biaya Operasional Sekolah) yang di dalamnya termasuk sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), uang penerimaan siswa baru (PSB), biaya ujian sekolah dan juga BOS buku. Adapun perincian dana BOS yang akan diterima oleh tiap siswa adalah sebesar Rp. 400.000/ tahun untuk SD / SDLB di wilayah kota, Rp. 397.000/ tahun untuk SD/ SDLB di kabupaten. Sedangkan untuk siswa SMP/ SMPLB/ SMPT di kota Rp. 575.000/ tahun dan SMP/ SMPLB/ SMPT di kabupaten Rp. 570.000/ tahun.
Dengan BOS, orang tua siswa tak perlu bingung soal biaya. Angka putus sekolah akan berkurang, dan pendidikan pun akan lebih terfokus kepada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Siswa Sekolah Swasta Juga Bisa Bernafas Lega
Untuk siswa miskin yang belajar di sekolah swasta, juga tak perlu khawatir. Pemerintah juga telah menginstruksikan kepada sekolah-sekolah swasta, untuk mendata siswa yang kurang mampu dan membebaskannya dari punguntan biaya operasional sekolah dan tidak ada juga pungutan biaya yang berlebihan kepada siswa yang mampu.
Apa sih RSBI dan SBI?
RSBI adalah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, sedangkan SBI adalah Sekolah Bertaraf Internasional. Saat ini di Indonesia terutama di kota-kota besar, banyak sekolah-sekolah yang menyamakan kurikulumnya dengan kurikulum internasional. Dari segi fasilitas pun sudah disesuaikan dengan kualitas bertaraf internasional.
Siswa Senang Belajar, Guru Tenang Mengajar.
Pemberlakuan sekolah gratis bukan berarti penurunan kualitas pendidikan. Untuk itu bukan hanya siswa saja yang diringankan dalam hal biaya, namun kini para guru juga akan merasa lega dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan akan kesejahteraan guru. Tahun 2009 ini pemerintah telah memutuskan untuk memenuhi ketentuan UUD 1945 pasal 31 tentang alokasi APBN untuk pendidikan sebesar 20%. Sehingga akan tersedianya anggaran untuk menaikkan pendapatan guru, terutama guru pegawai negeri sipil (PNS) berpangkat rendah yang belum berkeluarga dengan masa kerja 0 tahun, sekurang-kurangnya berpendapatan Rp. 2 juta.
Biaya Seragam, Ekstrakulikuler dan Studitour-nya Bagaimana?
Dari dana BOS yang diterima sekolah wajib menggunakan dana tersebut untuk pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), pembelian buku teks pelajaran, biaya ulangan harian dan ujian, serta biaya perawatan operasional sekolah. Sedangkan biaya yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memiliki biaya besar, seperti: studytour (karyawisata), studi banding, pembelian seragam bagi siswa dan guru untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah), serta pembelian bahan atau peralatan yang tidak mendukung kegiatan sekolah, semuanya tidak ditanggung biaya BOS. Dan pemungutan biaya tersebut juga akan tergantung dengan kebijakan tiap-tiap sekolah. Serta tentunya pemerintah akan terus mengawasi dan menjamin agar biaya-biaya tersebut tidak memberatkan para siswa dan orangtua.
Ada Bantuan dari APBD, loh!
Semua pasti berharap terealisasinya pendidikan gratis. Agar anak-anak Indonesia dapat mengenyam pendidikan dasar 9 tahun dan dapat mengangkat martabat dan derajat bangsa kita. Bagaimana jika suatu waktu terjadi hambatan atau ada sekolah yang masih kekurangan dalam pemenuhan biaya operasionalnya? Tenang saja… karena pemerintah daerah wajib untuk memenuhi kekurangannya dari dana APBD yang ada. Agar proses belajar-mengajar pun tetap terlaksana tanpa kekurangan biaya.
Sanksi Bagi Pelaku Penyimpangan Dana
Pemerintah Daerah akan memasyarakatkan dan melaksanakan kebijakan BOS tahun 2009 ini. Dan akan bertindak tegas bagi yang melanggarnya serta memberantas para pelaku penyimpangan dana tersebut. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan maka dana BOS akan disalurkan langsung ke rekening tiap-tiap sekolah. Dan secara khusus pemerintah akan mengirim tim pengawas untuk memonitor dana tersebut.
Anak Indonesia Bebas Biaya Sekolah!
Ada kabar gembira bagi pendidikan Indonesia ! di Januari 2009 ini anak-anak Indonesia usia SD dan SMP dapat menikmati Sekolah bebas SPP.Sebuah harapan yang sudah lama diidam-idamkan , Sekolah Indonesia bebas biaya.Para orang tua bisa bernafas lega karena Departemen Pendidikan Nasional mengeluarkan kebijakan yang memberlakukan sekolah gratis, terutama pada sekolah negeri tingkat pendidikan dasa mulai SD sampai SMP.
Hal tersebut terwujud berkat adanya kenaikan jumlah biaya santunan BOS (Biaya Operasional Sekolah) yang di dalamnya termasuk sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), uang penerimaan siswa baru (PSB), biaya ujian sekolah dan juga BOS buku. Adapun perincian dana BOS yang akan diterima oleh tiap siswa adalah sebesar Rp. 400.000/ tahun untuk SD / SDLB di wilayah kota, Rp. 397.000/ tahun untuk SD/ SDLB di kabupaten. Sedangkan untuk siswa SMP/ SMPLB/ SMPT di kota Rp. 575.000/ tahun dan SMP/ SMPLB/ SMPT di kabupaten Rp. 570.000/ tahun.
Dengan BOS, orang tua siswa tak perlu bingung soal biaya. Angka putus sekolah akan berkurang, dan pendidikan pun akan lebih terfokus kepada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Siswa Sekolah Swasta Juga Bisa Bernafas Lega
Untuk siswa miskin yang belajar di sekolah swasta, juga tak perlu khawatir. Pemerintah juga telah menginstruksikan kepada sekolah-sekolah swasta, untuk mendata siswa yang kurang mampu dan membebaskannya dari punguntan biaya operasional sekolah dan tidak ada juga pungutan biaya yang berlebihan kepada siswa yang mampu.
Apa sih RSBI dan SBI?
RSBI adalah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, sedangkan SBI adalah Sekolah Bertaraf Internasional. Saat ini di Indonesia terutama di kota-kota besar, banyak sekolah-sekolah yang menyamakan kurikulumnya dengan kurikulum internasional. Dari segi fasilitas pun sudah disesuaikan dengan kualitas bertaraf internasional.
Siswa Senang Belajar, Guru Tenang Mengajar.
Pemberlakuan sekolah gratis bukan berarti penurunan kualitas pendidikan. Untuk itu bukan hanya siswa saja yang diringankan dalam hal biaya, namun kini para guru juga akan merasa lega dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan akan kesejahteraan guru. Tahun 2009 ini pemerintah telah memutuskan untuk memenuhi ketentuan UUD 1945 pasal 31 tentang alokasi APBN untuk pendidikan sebesar 20%. Sehingga akan tersedianya anggaran untuk menaikkan pendapatan guru, terutama guru pegawai negeri sipil (PNS) berpangkat rendah yang belum berkeluarga dengan masa kerja 0 tahun, sekurang-kurangnya berpendapatan Rp. 2 juta.
Biaya Seragam, Ekstrakulikuler dan Studitour-nya Bagaimana?
Dari dana BOS yang diterima sekolah wajib menggunakan dana tersebut untuk pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), pembelian buku teks pelajaran, biaya ulangan harian dan ujian, serta biaya perawatan operasional sekolah. Sedangkan biaya yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memiliki biaya besar, seperti: studytour (karyawisata), studi banding, pembelian seragam bagi siswa dan guru untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah), serta pembelian bahan atau peralatan yang tidak mendukung kegiatan sekolah, semuanya tidak ditanggung biaya BOS. Dan pemungutan biaya tersebut juga akan tergantung dengan kebijakan tiap-tiap sekolah. Serta tentunya pemerintah akan terus mengawasi dan menjamin agar biaya-biaya tersebut tidak memberatkan para siswa dan orangtua.
Ada Bantuan dari APBD, loh!
Semua pasti berharap terealisasinya pendidikan gratis. Agar anak-anak Indonesia dapat mengenyam pendidikan dasar 9 tahun dan dapat mengangkat martabat dan derajat bangsa kita. Bagaimana jika suatu waktu terjadi hambatan atau ada sekolah yang masih kekurangan dalam pemenuhan biaya operasionalnya? Tenang saja… karena pemerintah daerah wajib untuk memenuhi kekurangannya dari dana APBD yang ada. Agar proses belajar-mengajar pun tetap terlaksana tanpa kekurangan biaya.
Sanksi Bagi Pelaku Penyimpangan Dana
Pemerintah Daerah akan memasyarakatkan dan melaksanakan kebijakan BOS tahun 2009 ini. Dan akan bertindak tegas bagi yang melanggarnya serta memberantas para pelaku penyimpangan dana tersebut. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan maka dana BOS akan disalurkan langsung ke rekening tiap-tiap sekolah. Dan secara khusus pemerintah akan mengirim tim pengawas untuk memonitor dana tersebut.
Label:
2. Manajemen pembiayaan
Pembiayaan pendidikan
Sayidiman Suryohadiprojo
Jakarta, 15 Januari 2009
sayidiman.suryohadiprojo.com
Timbul pertanyaan penting : Siapa yang harus membiayai Pendidikan satu bangsa ?
Karena pentingnya peran Pendidikan bagi kemampuan satu bangsa untuk memelihara Kesintasan dan kemampuan Kerjasama serta Persaingan, maka ada negara yang mengambil tanggungjawab sepenuhnya dalam pembiayaan itu. Itu antara lain dilakukan Jerman sejak Abad ke-19 karena para pemimpinnya melihat Pendidikan juga sebagai usaha mencegah keretakan bangsanya yang dapat timbul karena kuatnya perbedaan agama Protestan dan Katolik di masyarakat Jerman. Ada pula negara yang mengambil tanggungjawab pembiayaan penuh Pendidikan Dasar dan Menengah, sedangkan untuk Pendidikan Tinggi dilakukan bersama non-pemerintah, seperti dilakukan Malaysia.
Kita harus menemukan cara yang tepat bagi pembiayaan pendidikan di Indonesia agar Pendidikan dapat berjalan sesuai dengan Tujuannya. Adalah jelas bahwa sesuai dengan petunjuk UUD 1945 Negara mempunyai tanggungjawab besar dalam melaksanakan Pendidikan.
Ini berarti bahwa Negara harus selalu mengusahakan revenue atau pemasukan Negara yang besar agar dapat menjalankan peran Pendidikannya dengan semestinya. Sekalipun ditetapkan dalam UUD bahwa Negara mempunyai tanggungjawab besar dalam Pendidikan, tetapi kalau keuangan Negara kurang kuat maka akan sukar sekali membangun Pendidikan yang diperlukan. Sekarang telah ditetapkan bahwa 20% APBN disediakan untuk Pendidikan. Namun selama keuangan Negara lemah jumlah APBN juga tidak banyak, sehingga 20% APBN bukan jumlah uang yang banyak. Kalau dengan Dana yang relatif sedikit itu harus dibiayai seluruh kegiatan Pendidikan, khususnya Sistem Sekolah dari mulai Pendidikian Dasar sampai Pendidikan Tinggi, tidak mungkin ada dana yang memadai bagi pelaksanaan Pendidikan Bermutu. Akibatnya Indonesia menjadi lemah di semua tingkatan karena Pendidikan harus bermutu. Sebab itu selama Indonesia belum mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi sukar diharapkan ada pemasukan negara yang tinggi sehingga anggaran pendidikan juga relatif rendah. Jelas tetap berlaku bahwa hanya dengan Rakyat Sejahytera Negara Kuat.
Memperhatikan kondisi kesejahteraan bangsa maka nampaknya Negara harus melakukan prioritas pembiayaan dengan lebih dahulu mengambil tanggungjawab penuh atas pembiayaan Pendidikan Dasar yang terdiri atas Pendidikan Taman Kanak-Kanak 2 tahun, Sekolah Dasar 6 tahun dan Sekolah Lanjutan Pertama 3 tahun, seluruhnya 11 tahun. Pembiayaan penuh berarti bahwa benar-benar seluruh pengeluaran yang dilakukan untuk menjalankan tiga tingkat pendidikan itu ditanggung oleh Negara, dan orang tua murid tidak keluar biaya apa pun. Tidak hanya penting melihat ini secara kuantitatif, melainkan harus juga diperhatikan agar pendidikan di tingkat itu dilakukan dengan kualitas yang tinggi di seluruh Indonesia. Itu berarti diperlukan penyelenggaraan Pendidikan Guru yang baik untuk memperoleh Korps Guru yang bermutu, meliputi para Guru Taman Kanak-Kanak, Guru Kelas dan Guru Mata Pelajaran yang benar-benar kompeten untuk SD dan SLP. Demikian pula disediakan fasilitas pendidikan yang baik, sesuai keperluan. Untuk daerah Papua dan Kalimantan mungkin sekali diperlukan asrama untuk murid-murid yang tinggalnya cukup jauh dari tempat sekolah, khususnya untuk SLP. Selain itu semua SD dan SLP harus mempunyai fasilitas olahraga yang diperlukan, seperti lapangan, lokal olahraga atau gymnasium, dan bahkan kolam renang.
Kalau ada Pendidikan Dasar yang dilakukan masyarakat dengan membentuk Sekolah Swasta, maka dengan sendirinya tanggungjawab utama ada pada para Pendirinya. Namun demikian, karena Negara bertanggungjawab penuh atas Pendidikan Dasar, segala aspek Pendidikan Dasar yang dilakukan di Sekolah Swasta itu juga harus dibiayai Negara. Agar pembiayaan itu benar-benar memberikan manfaat yang diinginkan Negara, maka harus diadakan kontrol saksama bahwa pelaksanaan pendidikan oleh Sekolah Swasta itu mempunyai mutu yang sekurangnya sama dengan mutu Pendidikan Dasar yang dilakukan Sekolah Pemerintah. Yang tidak menjalankan itu dengan sendirinya tidak berhak untuk memperoleh pembiayaan Negara.
Kalau Negara dapat melakukan kewajiban ini dengan sebaik-baiknya, maka sudah tercapai kemajuan bagi bangsa Indonesia.
Kemudian dengan meningkatnya kekayaan Negara pada tahap berikut harus pula diambil tanggungjawab penuh untuk Pendidikan Menengah terdiri dari SMA dan SMK.
Akan tetapi sebelum Negara cukup kuat keuangannya untuk mengambil tanggungjawab penuh, maka pembiayaan Pendidikan Menengah dilakukan bersama antara Negara dan Masyarakat. Sebaiknya peran Masyarakat adalah dengan menyelenggarakan SMA dan SMK sendiri, di samping ada SMA dan SMK Pemerintah. Sekalipun ada sekolah milik Negara dan milik Swasta, namun semua harus dijalankan dengan mutu yang selalu dikontrol oleh Badan Akreditasi.
SMA dan SMK penting sekali mutunya bagi Negara. Mutu SMA penting karena lulusannya pada dasarnya akan melanjutkan langsung ke Pendidikan Tinggi yang memerlukan calon mahasiswa yang benar siap mengikuti Pendidikan Tinggi. Sedangkan mutu SMK penting, dan malahan mungkin lebih penting, karena lulusannya akan langsung bekerja untuk menjadi Kader Menengah di dunia usaha. Sumber Daya Manusia (SDM) dunia usaha Indonesia banyak sekali ditentukan kualitas kerjanya oleh lulusan SMK ini.
SMA dan SMK yang diselenggarakan pihak swasta pada dasarnya dibiayai lembaga pendidikan swasta yang umumnya berbentuk yayasan. Hanya yayasan yang cukup kuat keuangannya yang mampu membentuk SMA dan SMK. Tanpa keuangan memadai sukar untuk menjadikan pendidikannya bermutu dan karena itu malahan menghasilkan lulusan yang tidak sesuai, bahkan mungkin bertentangan, dengan Tujuan Pendidikan. Dapat dipikirkan bagaimana Negara atau pemerintah dapat memberikan bantuan pembiayaan kepada yayasan pendidikan swasta itu, tetapi karena pemerintah masih terbatas keuangannya dan titikberatnya adalah pada Pendidikian Dasar, sedangkan pemerintah juga masih harus membiayai SMA dan SMK nya sendiri, maka dalam kenyataan tidak banyak yang dapat diharapkan yayasan pendidikan swasta dari bantuan pembiayaan pemerintah. Untuk menjaga terpeliharanya mutu SMA dan SMK juga perlu selalu diawasi Badan Akreditasi Nasional.
SMA dan SMK yang diselenggarakan Negara penting sekali, sebagaimana diuraikan sebelumnya. Sebab itu pemerintah harus melakukan pembiayaan sebaik mungkin sehingga kurang membebani masyarakat, khususnya para orang tua yang kurang mampu. Akan tetapi karena pembiayaan bagi SMA dan terutama SMK tidak sedikit, untuk sementara perlu masih ada peran masyarakat. Meskipun ada peran masyarakat namun sebaiknya dibatasi pada pembayaran Uang Sekolah, Uang Ujian dan pembiayaan lain yang ditetapkan bersama dalam Dewan Sekolah.
Ada murid yang setelah lulus Pendidikan Menengah mau langsung melanjutkan ke Pendidikan Tinggi. Akan tetapi ada juga yang lebih berminat unuk cepat bekerja dan memperoleh penghasilan, sedangkan baru di kemudian hari masuk Pendidikan Tinggi. Untuk grup pertama adalah SMA, sedangkan untuk grup kedua SMK.
Mutu SMA dan SMK, dan khususnya SMK, di seluruh Indonesia menentukan sekali mutu Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia. Peningkatan mutu itu sangat berpengaruh pada perkembangan ekonomi dan kesejahteraan bangsa. Dengan hasil pendidikan SMK yang baik warga negara laki-laki maupun perempuan dapat segera memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang memadai, karena setiap usaha sangat tergantung pada kehadiran Kader Menengah yang ditelorkan sekolah itu. Hal ini akan meningkatkan Daya Beli masyarakat. Dengan begitu tidak perlu semua orang langsung menempuh Pendidikan Tinggi yang tidak murah itu. Kalau toh berminat untuk memperoleh Pendidikan Tinggi, hal itu dilakukan setelah ada pengalaman bekerja dan ada kemampuan memperoleh penghasilan. Sedangkan yang dari SMA yang langsung menempuh Pendidikan TInggi adalah benar-benar orang-orang yang sesuai kondisinya untuk dapat menyelesaikan pendidikan itu dengan cepat serta kemudian menjalankan peran akademis atau penelitian yang penting.
Orang yang hendak menggunakan penyelenggaraan Pendidikan Menengah untuk keperluan money making atau komersial rupanya dalam kenyataan sukar dilarang. Akan tetapi ia harus betul-betul yakin bahwa ia sanggup menyelenggarakannya dengan mutu berdasarkan Dana yang ia himpun dengan yayasannya. Ia tidak dapat dan tidak berhak menuntut bantuan pemerintah dalam penyelenggaraan itu kalau mutunya tidak memadai. Sedangkan bantuan itupun, kalau diberikan, tidak akan cukup untuk membiayai seluruh kegiatan operasional sekolahnya. Ia tidak bisa menggunakan alasan bahwa ia melakukan jasa kepada masyarakat dengan membuka pendidikan menengah itu kalau ia tidak sanggup menjamin mtunya. Malahan ia melakukan satu disservice kepada masyarakat, karena menghasilkan pendidikan yang kurang berguna dengan memungut biaya dari masyarakat. Sebab itu Badan Akreditasi Nasional harus bersikap lugas dalam menjalankan tugasnya mengontrol bahwa pendidikan dijalankian dengan bermutu. Sekarang ada cukup banyak Pendidikan Menengah Swasta yang bermutu di Indonesia, tetapi juga masih banyak yang kurang bermutu. Hal ini harus dicegah demi kepentingan masa depan Bangsa.
Untuk pembiayaan Pendidikan Tinggi masalahnya lebih musjkil lagi bagi negara seperti Indonesia yang belum tinggi kesejahteraannya dan lemah keuangannya. Persoalannya semacam di Pendidikan Menengah, tetapi lebih rumit lagi. Sudah jelas bahwa Negara sesudah memberikan titikberat perhatian dan pembiayaan kepada Pendidikan Dasar, maka prioritas berikut adalah Pendidikan Menengah. Tidak ada gunanya memberikan prioritas tinggi kepada Pendidikan Tinggi kalau Pendidikan Menengah kurang bermutu. Lulusan SMA yang kurang memadai penguasaan dasar ilmiahnya amat sulit menjadi mahasiswa yang normal saja di Pendidikan TInggi. Maka kalau Pendidikan Tinggi lebih rendah prioritasnya dalam pembiayaan Negara, padahal juga harus menghasilkan mutu yang diperlukan, maka itu berarti bahwa jumlah pembiayaan Negara harus tertuju kepada Perguruan Tinggi yang jumlahnya terbatas. Atau kepada Perguruan Tinggi diberikan otonomi luas untuk menambah kemampuan pembiayaan, di samping yang diperolehnya dari Negara.
Dalam hal demikian sebenarnya tidak sesuai dengan Tujuan Pendidikan kalau ada kehendak kalangan tertentu agar Negara dalam kondisinya sekarang memberikan bantuan yang memadai untuk semua Perguruan Tinggi, baik milik Negara maupun Swasta, dengan jumlah milik Swasta jauh lebih banyak.
Dari uraian para pimpinan Universitas tentang biaya yang diperlukan untuk operasi Universitasnya dengan baik, nampak sekali bahwa Negara hanya mampu memberikan bagian yang relatif sangat terbatas. Sekarang biaya mahasiswa di Indonesia yang disediakan pemerintah hanya kecil dibandingkan dari keperluan minimal untuk menjalankan Universitas itu bermutu. Apalagi kalau dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan Universitas di Malaysia, Thailand dan terutama Singapore. Kalau demikian halnya sukar sekali bagi Perguruan Tinggi di Indonesia untuk mencapai tingkat dunia. Itu berarti bahwa lulusannya pada umumnya sukar bersaing dalam kemampuan dengan lulusan Perguruan Tinggi Singapore.
Sebab itu kita harus menerima kenyataan bahwa biaya untuk Pendidikan Tinggi adalah besar, terutama di Universitas. Meskipun pimpinan Universitas berhasil melakukan usaha untuk memperoleh tambahan pembiayaan, seperti dalam pelaksanaan riset dan lainnya , namun dengan terbatasnya bantuan Negara biaya yang harus dikeluarkan orang tua mahasiswa tinggi.
Memang adalah tidak dapat dibenarkan bahwa Pendidikan Universitas hanya tertuju untuk anak orang kaya, padahal ada anak-anak cerdas tetapi kurang mampu. Untuk mengatasi itu kuncinya terletak dalam Sistem Beasiswa yang harus dirancang Perguruan Tinggi sehingga Universitas tetap dapat menerima dan mendidik anak-anak cerdas yang orangtuanya miskin. Di Amerika Serikat yang kebanyakan Universitasnya adalah swasta dan biayanya tidak murah, adalah beasiswa yang memungkinkan memberikan pendidikan kepada anak-anak cerdas tapi miskin orang tuanya. Dengan begitu anak-anak itu terus berkembang kemampuannya sehingga sangat bermanfaat bagi Negara dan bangsanya.
Kalau di Indonesia persoalan pembiayaan sudah amat berat bagi Universitas Negeri, apalagi bagi Universitas Swasta yang sangat tergantung dari kekayaan dan kemampuan yayasan pendukungnya.
Maka kalau masyarakat menginginkan agar pembiayaan pendidikan sampai Pendidikan Tinggi tidak menjadi beban orang tua, maka kuncinya hanya satu, yaitu Negara harus menjadi sejahtera sehingga sanggup membiayai sepenuhnya segala keperluan pendidikan mulai Taman Kanak-Kanak hingga Pendidikan Tinggi.
Sebelum itu tercapai mau tidak mau hanya anak-anak yang cerdas dan memperoleh dukungan, baik dari beasiswa yang ia peroleh atau dari orang tua, yang dapat menempuh pendidikan hingga Pendidikan Tinggi secara teratur. Dan ini tidak boleh dikorbankan dengan menurunkan mutu Pendidikan keseluruhannya serta luasnya Pendidikan Dasar yang harus mencapai semua anak negeri.
Selain itu harus ada sikap yang realis bahwa menjadi warga negara yang produktif tidak hanya tergantung pada Pendidikan Universitas. Orang yang sifatnya kreatif dan innovatif dapat menjadi orang yang produktif bagi masyarakat dengan mengikuti Pendidikan Dasar yang baik ditambah kursus-kursus yang bermutu. Maka yang amat penting bagi Indonesia sekarang adalah menyelenggarakan Pendidikan Dasar bermutu dan luas serta dibiayai sepenuhnya oleh Negara.
Jakarta, 15 Januari 2009
sayidiman.suryohadiprojo.com
Timbul pertanyaan penting : Siapa yang harus membiayai Pendidikan satu bangsa ?
Karena pentingnya peran Pendidikan bagi kemampuan satu bangsa untuk memelihara Kesintasan dan kemampuan Kerjasama serta Persaingan, maka ada negara yang mengambil tanggungjawab sepenuhnya dalam pembiayaan itu. Itu antara lain dilakukan Jerman sejak Abad ke-19 karena para pemimpinnya melihat Pendidikan juga sebagai usaha mencegah keretakan bangsanya yang dapat timbul karena kuatnya perbedaan agama Protestan dan Katolik di masyarakat Jerman. Ada pula negara yang mengambil tanggungjawab pembiayaan penuh Pendidikan Dasar dan Menengah, sedangkan untuk Pendidikan Tinggi dilakukan bersama non-pemerintah, seperti dilakukan Malaysia.
Kita harus menemukan cara yang tepat bagi pembiayaan pendidikan di Indonesia agar Pendidikan dapat berjalan sesuai dengan Tujuannya. Adalah jelas bahwa sesuai dengan petunjuk UUD 1945 Negara mempunyai tanggungjawab besar dalam melaksanakan Pendidikan.
Ini berarti bahwa Negara harus selalu mengusahakan revenue atau pemasukan Negara yang besar agar dapat menjalankan peran Pendidikannya dengan semestinya. Sekalipun ditetapkan dalam UUD bahwa Negara mempunyai tanggungjawab besar dalam Pendidikan, tetapi kalau keuangan Negara kurang kuat maka akan sukar sekali membangun Pendidikan yang diperlukan. Sekarang telah ditetapkan bahwa 20% APBN disediakan untuk Pendidikan. Namun selama keuangan Negara lemah jumlah APBN juga tidak banyak, sehingga 20% APBN bukan jumlah uang yang banyak. Kalau dengan Dana yang relatif sedikit itu harus dibiayai seluruh kegiatan Pendidikan, khususnya Sistem Sekolah dari mulai Pendidikian Dasar sampai Pendidikan Tinggi, tidak mungkin ada dana yang memadai bagi pelaksanaan Pendidikan Bermutu. Akibatnya Indonesia menjadi lemah di semua tingkatan karena Pendidikan harus bermutu. Sebab itu selama Indonesia belum mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi sukar diharapkan ada pemasukan negara yang tinggi sehingga anggaran pendidikan juga relatif rendah. Jelas tetap berlaku bahwa hanya dengan Rakyat Sejahytera Negara Kuat.
Memperhatikan kondisi kesejahteraan bangsa maka nampaknya Negara harus melakukan prioritas pembiayaan dengan lebih dahulu mengambil tanggungjawab penuh atas pembiayaan Pendidikan Dasar yang terdiri atas Pendidikan Taman Kanak-Kanak 2 tahun, Sekolah Dasar 6 tahun dan Sekolah Lanjutan Pertama 3 tahun, seluruhnya 11 tahun. Pembiayaan penuh berarti bahwa benar-benar seluruh pengeluaran yang dilakukan untuk menjalankan tiga tingkat pendidikan itu ditanggung oleh Negara, dan orang tua murid tidak keluar biaya apa pun. Tidak hanya penting melihat ini secara kuantitatif, melainkan harus juga diperhatikan agar pendidikan di tingkat itu dilakukan dengan kualitas yang tinggi di seluruh Indonesia. Itu berarti diperlukan penyelenggaraan Pendidikan Guru yang baik untuk memperoleh Korps Guru yang bermutu, meliputi para Guru Taman Kanak-Kanak, Guru Kelas dan Guru Mata Pelajaran yang benar-benar kompeten untuk SD dan SLP. Demikian pula disediakan fasilitas pendidikan yang baik, sesuai keperluan. Untuk daerah Papua dan Kalimantan mungkin sekali diperlukan asrama untuk murid-murid yang tinggalnya cukup jauh dari tempat sekolah, khususnya untuk SLP. Selain itu semua SD dan SLP harus mempunyai fasilitas olahraga yang diperlukan, seperti lapangan, lokal olahraga atau gymnasium, dan bahkan kolam renang.
Kalau ada Pendidikan Dasar yang dilakukan masyarakat dengan membentuk Sekolah Swasta, maka dengan sendirinya tanggungjawab utama ada pada para Pendirinya. Namun demikian, karena Negara bertanggungjawab penuh atas Pendidikan Dasar, segala aspek Pendidikan Dasar yang dilakukan di Sekolah Swasta itu juga harus dibiayai Negara. Agar pembiayaan itu benar-benar memberikan manfaat yang diinginkan Negara, maka harus diadakan kontrol saksama bahwa pelaksanaan pendidikan oleh Sekolah Swasta itu mempunyai mutu yang sekurangnya sama dengan mutu Pendidikan Dasar yang dilakukan Sekolah Pemerintah. Yang tidak menjalankan itu dengan sendirinya tidak berhak untuk memperoleh pembiayaan Negara.
Kalau Negara dapat melakukan kewajiban ini dengan sebaik-baiknya, maka sudah tercapai kemajuan bagi bangsa Indonesia.
Kemudian dengan meningkatnya kekayaan Negara pada tahap berikut harus pula diambil tanggungjawab penuh untuk Pendidikan Menengah terdiri dari SMA dan SMK.
Akan tetapi sebelum Negara cukup kuat keuangannya untuk mengambil tanggungjawab penuh, maka pembiayaan Pendidikan Menengah dilakukan bersama antara Negara dan Masyarakat. Sebaiknya peran Masyarakat adalah dengan menyelenggarakan SMA dan SMK sendiri, di samping ada SMA dan SMK Pemerintah. Sekalipun ada sekolah milik Negara dan milik Swasta, namun semua harus dijalankan dengan mutu yang selalu dikontrol oleh Badan Akreditasi.
SMA dan SMK penting sekali mutunya bagi Negara. Mutu SMA penting karena lulusannya pada dasarnya akan melanjutkan langsung ke Pendidikan Tinggi yang memerlukan calon mahasiswa yang benar siap mengikuti Pendidikan Tinggi. Sedangkan mutu SMK penting, dan malahan mungkin lebih penting, karena lulusannya akan langsung bekerja untuk menjadi Kader Menengah di dunia usaha. Sumber Daya Manusia (SDM) dunia usaha Indonesia banyak sekali ditentukan kualitas kerjanya oleh lulusan SMK ini.
SMA dan SMK yang diselenggarakan pihak swasta pada dasarnya dibiayai lembaga pendidikan swasta yang umumnya berbentuk yayasan. Hanya yayasan yang cukup kuat keuangannya yang mampu membentuk SMA dan SMK. Tanpa keuangan memadai sukar untuk menjadikan pendidikannya bermutu dan karena itu malahan menghasilkan lulusan yang tidak sesuai, bahkan mungkin bertentangan, dengan Tujuan Pendidikan. Dapat dipikirkan bagaimana Negara atau pemerintah dapat memberikan bantuan pembiayaan kepada yayasan pendidikan swasta itu, tetapi karena pemerintah masih terbatas keuangannya dan titikberatnya adalah pada Pendidikian Dasar, sedangkan pemerintah juga masih harus membiayai SMA dan SMK nya sendiri, maka dalam kenyataan tidak banyak yang dapat diharapkan yayasan pendidikan swasta dari bantuan pembiayaan pemerintah. Untuk menjaga terpeliharanya mutu SMA dan SMK juga perlu selalu diawasi Badan Akreditasi Nasional.
SMA dan SMK yang diselenggarakan Negara penting sekali, sebagaimana diuraikan sebelumnya. Sebab itu pemerintah harus melakukan pembiayaan sebaik mungkin sehingga kurang membebani masyarakat, khususnya para orang tua yang kurang mampu. Akan tetapi karena pembiayaan bagi SMA dan terutama SMK tidak sedikit, untuk sementara perlu masih ada peran masyarakat. Meskipun ada peran masyarakat namun sebaiknya dibatasi pada pembayaran Uang Sekolah, Uang Ujian dan pembiayaan lain yang ditetapkan bersama dalam Dewan Sekolah.
Ada murid yang setelah lulus Pendidikan Menengah mau langsung melanjutkan ke Pendidikan Tinggi. Akan tetapi ada juga yang lebih berminat unuk cepat bekerja dan memperoleh penghasilan, sedangkan baru di kemudian hari masuk Pendidikan Tinggi. Untuk grup pertama adalah SMA, sedangkan untuk grup kedua SMK.
Mutu SMA dan SMK, dan khususnya SMK, di seluruh Indonesia menentukan sekali mutu Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia. Peningkatan mutu itu sangat berpengaruh pada perkembangan ekonomi dan kesejahteraan bangsa. Dengan hasil pendidikan SMK yang baik warga negara laki-laki maupun perempuan dapat segera memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang memadai, karena setiap usaha sangat tergantung pada kehadiran Kader Menengah yang ditelorkan sekolah itu. Hal ini akan meningkatkan Daya Beli masyarakat. Dengan begitu tidak perlu semua orang langsung menempuh Pendidikan Tinggi yang tidak murah itu. Kalau toh berminat untuk memperoleh Pendidikan Tinggi, hal itu dilakukan setelah ada pengalaman bekerja dan ada kemampuan memperoleh penghasilan. Sedangkan yang dari SMA yang langsung menempuh Pendidikan TInggi adalah benar-benar orang-orang yang sesuai kondisinya untuk dapat menyelesaikan pendidikan itu dengan cepat serta kemudian menjalankan peran akademis atau penelitian yang penting.
Orang yang hendak menggunakan penyelenggaraan Pendidikan Menengah untuk keperluan money making atau komersial rupanya dalam kenyataan sukar dilarang. Akan tetapi ia harus betul-betul yakin bahwa ia sanggup menyelenggarakannya dengan mutu berdasarkan Dana yang ia himpun dengan yayasannya. Ia tidak dapat dan tidak berhak menuntut bantuan pemerintah dalam penyelenggaraan itu kalau mutunya tidak memadai. Sedangkan bantuan itupun, kalau diberikan, tidak akan cukup untuk membiayai seluruh kegiatan operasional sekolahnya. Ia tidak bisa menggunakan alasan bahwa ia melakukan jasa kepada masyarakat dengan membuka pendidikan menengah itu kalau ia tidak sanggup menjamin mtunya. Malahan ia melakukan satu disservice kepada masyarakat, karena menghasilkan pendidikan yang kurang berguna dengan memungut biaya dari masyarakat. Sebab itu Badan Akreditasi Nasional harus bersikap lugas dalam menjalankan tugasnya mengontrol bahwa pendidikan dijalankian dengan bermutu. Sekarang ada cukup banyak Pendidikan Menengah Swasta yang bermutu di Indonesia, tetapi juga masih banyak yang kurang bermutu. Hal ini harus dicegah demi kepentingan masa depan Bangsa.
Untuk pembiayaan Pendidikan Tinggi masalahnya lebih musjkil lagi bagi negara seperti Indonesia yang belum tinggi kesejahteraannya dan lemah keuangannya. Persoalannya semacam di Pendidikan Menengah, tetapi lebih rumit lagi. Sudah jelas bahwa Negara sesudah memberikan titikberat perhatian dan pembiayaan kepada Pendidikan Dasar, maka prioritas berikut adalah Pendidikan Menengah. Tidak ada gunanya memberikan prioritas tinggi kepada Pendidikan Tinggi kalau Pendidikan Menengah kurang bermutu. Lulusan SMA yang kurang memadai penguasaan dasar ilmiahnya amat sulit menjadi mahasiswa yang normal saja di Pendidikan TInggi. Maka kalau Pendidikan Tinggi lebih rendah prioritasnya dalam pembiayaan Negara, padahal juga harus menghasilkan mutu yang diperlukan, maka itu berarti bahwa jumlah pembiayaan Negara harus tertuju kepada Perguruan Tinggi yang jumlahnya terbatas. Atau kepada Perguruan Tinggi diberikan otonomi luas untuk menambah kemampuan pembiayaan, di samping yang diperolehnya dari Negara.
Dalam hal demikian sebenarnya tidak sesuai dengan Tujuan Pendidikan kalau ada kehendak kalangan tertentu agar Negara dalam kondisinya sekarang memberikan bantuan yang memadai untuk semua Perguruan Tinggi, baik milik Negara maupun Swasta, dengan jumlah milik Swasta jauh lebih banyak.
Dari uraian para pimpinan Universitas tentang biaya yang diperlukan untuk operasi Universitasnya dengan baik, nampak sekali bahwa Negara hanya mampu memberikan bagian yang relatif sangat terbatas. Sekarang biaya mahasiswa di Indonesia yang disediakan pemerintah hanya kecil dibandingkan dari keperluan minimal untuk menjalankan Universitas itu bermutu. Apalagi kalau dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan Universitas di Malaysia, Thailand dan terutama Singapore. Kalau demikian halnya sukar sekali bagi Perguruan Tinggi di Indonesia untuk mencapai tingkat dunia. Itu berarti bahwa lulusannya pada umumnya sukar bersaing dalam kemampuan dengan lulusan Perguruan Tinggi Singapore.
Sebab itu kita harus menerima kenyataan bahwa biaya untuk Pendidikan Tinggi adalah besar, terutama di Universitas. Meskipun pimpinan Universitas berhasil melakukan usaha untuk memperoleh tambahan pembiayaan, seperti dalam pelaksanaan riset dan lainnya , namun dengan terbatasnya bantuan Negara biaya yang harus dikeluarkan orang tua mahasiswa tinggi.
Memang adalah tidak dapat dibenarkan bahwa Pendidikan Universitas hanya tertuju untuk anak orang kaya, padahal ada anak-anak cerdas tetapi kurang mampu. Untuk mengatasi itu kuncinya terletak dalam Sistem Beasiswa yang harus dirancang Perguruan Tinggi sehingga Universitas tetap dapat menerima dan mendidik anak-anak cerdas yang orangtuanya miskin. Di Amerika Serikat yang kebanyakan Universitasnya adalah swasta dan biayanya tidak murah, adalah beasiswa yang memungkinkan memberikan pendidikan kepada anak-anak cerdas tapi miskin orang tuanya. Dengan begitu anak-anak itu terus berkembang kemampuannya sehingga sangat bermanfaat bagi Negara dan bangsanya.
Kalau di Indonesia persoalan pembiayaan sudah amat berat bagi Universitas Negeri, apalagi bagi Universitas Swasta yang sangat tergantung dari kekayaan dan kemampuan yayasan pendukungnya.
Maka kalau masyarakat menginginkan agar pembiayaan pendidikan sampai Pendidikan Tinggi tidak menjadi beban orang tua, maka kuncinya hanya satu, yaitu Negara harus menjadi sejahtera sehingga sanggup membiayai sepenuhnya segala keperluan pendidikan mulai Taman Kanak-Kanak hingga Pendidikan Tinggi.
Sebelum itu tercapai mau tidak mau hanya anak-anak yang cerdas dan memperoleh dukungan, baik dari beasiswa yang ia peroleh atau dari orang tua, yang dapat menempuh pendidikan hingga Pendidikan Tinggi secara teratur. Dan ini tidak boleh dikorbankan dengan menurunkan mutu Pendidikan keseluruhannya serta luasnya Pendidikan Dasar yang harus mencapai semua anak negeri.
Selain itu harus ada sikap yang realis bahwa menjadi warga negara yang produktif tidak hanya tergantung pada Pendidikan Universitas. Orang yang sifatnya kreatif dan innovatif dapat menjadi orang yang produktif bagi masyarakat dengan mengikuti Pendidikan Dasar yang baik ditambah kursus-kursus yang bermutu. Maka yang amat penting bagi Indonesia sekarang adalah menyelenggarakan Pendidikan Dasar bermutu dan luas serta dibiayai sepenuhnya oleh Negara.
Label:
2. Manajemen pembiayaan
Butuh Rp 297 M untuk bebaskan pungutan pendidikan di bandung
Bandung, 15 Desember 2008 | 20:09 WIB
BANDUNG, SENIN - Setidaknya dibutuhkan Rp 297 miliar per tahun untuk membebaskan sekolah dasar dan menengah pertama sederajat, baik swasta dan negeri, di Kota Bandung dari berbagai pungutan biaya. Pemerintah Kota Bandung bersedia menanggung sebagian beban pendanaannya.
Di dalam rapat kerja Panitia Khusus Anggaran DPRD dan Dinas Pendi dikan Kota Bandung, Senin (15/12) di Hotel Papandayan terungkap, Pemkot Bandung mengusulkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) pendamping sebesar Rp 116,267 miliar. Jumlah ini merupakan sharing untuk membebaskan total 357.813 siswa SD/MI dan SMP/MTS di Bandung dari pungutan dana sumbangan pendidikan dan iuran bulanan (SPP).
Adapun pagu BOS Pendamping dari Kota Bandung ini adalah Rp 235.000 untuk SD/MI dan Rp 508.000 SMP/MTS. Jika dihitung tambahan BOS Pusat dan pendamping dari provinsi, maka total besaran plafon subsidi operasional sekolah adalah Rp 650.000 SD/MI dan Rp 1,2 juta SMP/MTS per siswa per tahun. Nilai BOS pusat Rp 400.000 SD dan MI serta Rp 575.000 SMP/MTS. Lalu, BOS dari provinsi masing-masing Rp 15.000 (SD/MI) dan Rp 117.000 (SMP/MTS).
Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji mengakui, besaran plafon subsidi ini belumlah mencapai standar kebutuhan (unit cost ) ideal. Berdasarkan kajian bersama dengan pak Nanang Fatah dari UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), besaran unit cost id eal untuk SD Rp 1,25 juta dan Rp 2,7 juta untuk SBI (standar internasional). SMP Rp 1,7 juta, tuturnya. Jika menggunakan penghitungan ini, subsidi BOS kota bisa membengkak menjadi Rp 314,506 miliar per tahun.
"Sulit jika mengejar angka ideal. Anggaran kita akan sulit mencukupinya," ucap Sekretaris Disdik Kota Bandung Dadang Iradi. Di dalam rapat ini juga terungkap, siswa SMA/SMK juga akan mendapat subsidi. Besarannya Rp 500.000 untuk 70.319 siswa SMA/MA, Rp 720. 000 untuk 46.880 siswa SMK. Bantuan ini hanya diberikan untuk siswa SMA,MA dan SMK yang terancam putus sekolah.
Ketua Panitia Anggaran DPRD Kota Bandung Lia N ur Hambali mengatakan, program BOS Pendamping sangatlah penting. Namun, jangan sampai kebutuhan lainnya, misalnya infrastruktur sarana dan prasarana sekolah terabaikan. Saat ini ada 1.555 ruang kelas yang rusak. Ini harus jadi prioritas pula, tuturnya. Ia memperkirakan, jika dihitung gaji guru, belanja langsung, program BOS Pendamping dan rehabilita si ruang kelas, dana yang dibutuhkan mencapai Rp 1,3 triliun. Ini sulit terpenuhi jika tidak ada efesiensi dan memaksimalkan pendapatan pemerintah.
BANDUNG, SENIN - Setidaknya dibutuhkan Rp 297 miliar per tahun untuk membebaskan sekolah dasar dan menengah pertama sederajat, baik swasta dan negeri, di Kota Bandung dari berbagai pungutan biaya. Pemerintah Kota Bandung bersedia menanggung sebagian beban pendanaannya.
Di dalam rapat kerja Panitia Khusus Anggaran DPRD dan Dinas Pendi dikan Kota Bandung, Senin (15/12) di Hotel Papandayan terungkap, Pemkot Bandung mengusulkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) pendamping sebesar Rp 116,267 miliar. Jumlah ini merupakan sharing untuk membebaskan total 357.813 siswa SD/MI dan SMP/MTS di Bandung dari pungutan dana sumbangan pendidikan dan iuran bulanan (SPP).
Adapun pagu BOS Pendamping dari Kota Bandung ini adalah Rp 235.000 untuk SD/MI dan Rp 508.000 SMP/MTS. Jika dihitung tambahan BOS Pusat dan pendamping dari provinsi, maka total besaran plafon subsidi operasional sekolah adalah Rp 650.000 SD/MI dan Rp 1,2 juta SMP/MTS per siswa per tahun. Nilai BOS pusat Rp 400.000 SD dan MI serta Rp 575.000 SMP/MTS. Lalu, BOS dari provinsi masing-masing Rp 15.000 (SD/MI) dan Rp 117.000 (SMP/MTS).
Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji mengakui, besaran plafon subsidi ini belumlah mencapai standar kebutuhan (unit cost ) ideal. Berdasarkan kajian bersama dengan pak Nanang Fatah dari UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), besaran unit cost id eal untuk SD Rp 1,25 juta dan Rp 2,7 juta untuk SBI (standar internasional). SMP Rp 1,7 juta, tuturnya. Jika menggunakan penghitungan ini, subsidi BOS kota bisa membengkak menjadi Rp 314,506 miliar per tahun.
"Sulit jika mengejar angka ideal. Anggaran kita akan sulit mencukupinya," ucap Sekretaris Disdik Kota Bandung Dadang Iradi. Di dalam rapat ini juga terungkap, siswa SMA/SMK juga akan mendapat subsidi. Besarannya Rp 500.000 untuk 70.319 siswa SMA/MA, Rp 720. 000 untuk 46.880 siswa SMK. Bantuan ini hanya diberikan untuk siswa SMA,MA dan SMK yang terancam putus sekolah.
Ketua Panitia Anggaran DPRD Kota Bandung Lia N ur Hambali mengatakan, program BOS Pendamping sangatlah penting. Namun, jangan sampai kebutuhan lainnya, misalnya infrastruktur sarana dan prasarana sekolah terabaikan. Saat ini ada 1.555 ruang kelas yang rusak. Ini harus jadi prioritas pula, tuturnya. Ia memperkirakan, jika dihitung gaji guru, belanja langsung, program BOS Pendamping dan rehabilita si ruang kelas, dana yang dibutuhkan mencapai Rp 1,3 triliun. Ini sulit terpenuhi jika tidak ada efesiensi dan memaksimalkan pendapatan pemerintah.
Label:
2. Manajemen pembiayaan
DPRD Lampung soroti usulan anggaran pendidikan
Rabu, 29 Oktober 2008 | 21:38 WIB
BANDAR LAMPUNG, RABU - DPRD Lampung menyoroti anggaran pendidikan yang diusulkan Pemprov Lampung sebesar Rp305 miliar untuk tahun anggaran 2009. Melihat pengalaman, DPRD Lampung mengkhawatirkan dana pendidikan tersebut hanya akan habis tanpa memberi manfaat.
Ketua DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga anggota Komisi D DPRD Lampung Ahmad Jajuli, Rabu (29/10) mengatakan, usulan anggaran pendidikan 2009 sebesar Rp305 miliar tersebut sesuai amanat UUD 1945 dan Undang Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun, Pemprov Lampung harus berkaca pada pengalaman karena hingga saat ini Lampung belum mengalami kemajuan di bidang pendidikan.
"DPRD Lampung mencermati, satuan kerja di Dinas Pendidikan baru terbatas pada melakukan kegiatan untuk menghabiskan anggaran. Belum ada program-program kerja yang menghasilkan kemajuan di bidang pendidikan. Itu karena SDM-nya asal menghabiskan anggaran saja," ujar Jajuli.
Di Lampung masih banyak terdapat sekolah yang tidak memiliki laboratorium, perpustakaan, serta sarana prasarana belajar memadai. Selain itu masih banyak sekolah yang belum memiliki guru-guru dengan kompetensi mengajar bagus.
Menurut Jajuli, usulan pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen sebaiknya diikuti dengan pembenahan sumber daya manusia (SDM) dan birokrasi. SDM tersebut akan mengurusi dana pendidikan yang sangat besar.
Pembenahan perlu dilakukan supaya SDM tidak asal menghabiskan anggaran namun mampu menciptakan program-program kerja yang tepat sasaran dan bermanfaat untuk kemajuan pendidikan Lampung. Selain itu, Dinas Pendidikan juga selayaknya mendengarkan aspirasi masyarakat mengenai kebutuhan pembangunan bidang pendidikan.
Secara terpisah, Khamamik, anggota Fraksi Peduli Kebangsaan DPRD Lampung menyatakan, usulan alokasi anggaran pendidikan 20 persen tersebut harus diawasi. DPRD Lampung harus mengawasi supaya jangan terjadi duplikasi anggaran di setiap kabupaten/kota.
"Selama ini, setiap kabupaten/kota pasti mendapat anggaran pendidikan dari provinsi, selain juga dari APBD kabupaten/kota. Duplikasi tersebut diharapkan jangan sampai terjadi di program yang sama. Kita harus mengawasi pengucuran dan penggunaan dana tersebut," ujar Khamamik.
Sebagai gambaran, anggaran pendidikan di Lampung selama ini tidak pernah penuh 20 persen. Anggaran pendidikan 2008, misalnya, hanya terpenuhi 13 persen atau sekitar Rp 61,894 miliar. Usulan anggaran pendidikan penuh 20 persen senilai Rp 305 miliar baru terjadi pada 2008.
BANDAR LAMPUNG, RABU - DPRD Lampung menyoroti anggaran pendidikan yang diusulkan Pemprov Lampung sebesar Rp305 miliar untuk tahun anggaran 2009. Melihat pengalaman, DPRD Lampung mengkhawatirkan dana pendidikan tersebut hanya akan habis tanpa memberi manfaat.
Ketua DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga anggota Komisi D DPRD Lampung Ahmad Jajuli, Rabu (29/10) mengatakan, usulan anggaran pendidikan 2009 sebesar Rp305 miliar tersebut sesuai amanat UUD 1945 dan Undang Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun, Pemprov Lampung harus berkaca pada pengalaman karena hingga saat ini Lampung belum mengalami kemajuan di bidang pendidikan.
"DPRD Lampung mencermati, satuan kerja di Dinas Pendidikan baru terbatas pada melakukan kegiatan untuk menghabiskan anggaran. Belum ada program-program kerja yang menghasilkan kemajuan di bidang pendidikan. Itu karena SDM-nya asal menghabiskan anggaran saja," ujar Jajuli.
Di Lampung masih banyak terdapat sekolah yang tidak memiliki laboratorium, perpustakaan, serta sarana prasarana belajar memadai. Selain itu masih banyak sekolah yang belum memiliki guru-guru dengan kompetensi mengajar bagus.
Menurut Jajuli, usulan pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen sebaiknya diikuti dengan pembenahan sumber daya manusia (SDM) dan birokrasi. SDM tersebut akan mengurusi dana pendidikan yang sangat besar.
Pembenahan perlu dilakukan supaya SDM tidak asal menghabiskan anggaran namun mampu menciptakan program-program kerja yang tepat sasaran dan bermanfaat untuk kemajuan pendidikan Lampung. Selain itu, Dinas Pendidikan juga selayaknya mendengarkan aspirasi masyarakat mengenai kebutuhan pembangunan bidang pendidikan.
Secara terpisah, Khamamik, anggota Fraksi Peduli Kebangsaan DPRD Lampung menyatakan, usulan alokasi anggaran pendidikan 20 persen tersebut harus diawasi. DPRD Lampung harus mengawasi supaya jangan terjadi duplikasi anggaran di setiap kabupaten/kota.
"Selama ini, setiap kabupaten/kota pasti mendapat anggaran pendidikan dari provinsi, selain juga dari APBD kabupaten/kota. Duplikasi tersebut diharapkan jangan sampai terjadi di program yang sama. Kita harus mengawasi pengucuran dan penggunaan dana tersebut," ujar Khamamik.
Sebagai gambaran, anggaran pendidikan di Lampung selama ini tidak pernah penuh 20 persen. Anggaran pendidikan 2008, misalnya, hanya terpenuhi 13 persen atau sekitar Rp 61,894 miliar. Usulan anggaran pendidikan penuh 20 persen senilai Rp 305 miliar baru terjadi pada 2008.
Label:
2. Manajemen pembiayaan
50 Juta rupiah per sekolah untuk persiapan Un
Rabu, 16 Januari 2008 | 19:44 WIB
BANDUNG, RABU – Ujian nasional memberi dampak luar biasa terhadap pikiran, tenaga, juga biaya calon pesertanya. Sekolah menghabiskan biaya puluhan juta, rata-rata 50 juta rupiah, untuk persiapannya. Sebuah cermin kepanikan masyarakat pendidikan terhadap pelaksanaan ujian nasional.
Demikian salah satu butir hasil temuan Koalisi Pendidikan Kota Bandung yang disampaikan Koordinatornya, Iwan Hermawan, Rabu (16/1). Di salah satu sekolah, menurut Iwan, besarnya biaya persiapan ujian nasional ditambah ujian sekolah mencapai 49 juta rupiah. Itu dibebankan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Di tingkat SMP-SMA besaran dana berkisar 15-70 juta rupiah.
”Sekolah yang APBS-nya besar, biaya yang dianggarkan tentu akan lebih besar. Tidak tertutup kemungkinan, adanya pungutan langsung di luar APBS. Meski di dalam APBS, ujung-ujungnya bebannya (dana) kembali ke masyarakat. Misal, dana Sumbangan Pengembangan Pendidikan (SPP) jadi dinaikkan,” ucapnya.
Berdasarkan pos peruntukkan APBS, dana senilai puluhan juta itu ternyata lebih banyak digunakan untuk biaya pemantapan. Komponennya meliputi biaya panitia, honor guru mata pelajaran (termasuk transportasi), serta alat tulis kantor. Sisanya untuk try out lokal atau regional seperti yang sempat mengundang protes banyak kalangan, tahun lalu.
Di SMAN 13 Kota Bandung misalnya, besaran dana APBS yang dianggarkan untuk optimalisasi pembejalaran (persiapan ujian nasional) sebesar 16 juta rupiah. Namun, karena perkembangan kebutuhan terkini, salah satunya untuk memnuhi standar minimal pelayanan, jumlah dana itu kemudian dirasakan tidak cukup.
”Terpaksa, kekurangannya dikembalikan ke orangtua. Dalam draft, tiap-tiap anak kami minta tambahan 125 hingga 190 ribu rupiah. Tetapi, ini tidak memaksa. Siswa yang tidak mampu, kami bebaskan,” ucap Kepala SMAN 13 Kota Bandung Asep Turniawan.
Biaya penggarapan soal try out dengan komponen biaya konsultasi tim ahli guru menjadi salah satu porsi anggaran terbesar.
Di sekolah ini, pemantapan ujian nasional dilakukan mulai Semester II. Teknisnya yaitu 45 menit per mata pelajaran (IPA lima buah sedangkan IPS enam). Itu dilakukan tiap pagi, pukul 06.45 WIB, menjelang dimulainya pelajaran reguler. Fokus pemantapan pada latihan soal materi kelas I dan II yang berstandarkan standar kompetensi kelulusan atau SKL.
Menurut pakar pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan, ujian nasional hanyalah sebuah pemborosan. Pendidikan terasa kian mahal. Biaya yang dikeluarkan masyarakat langsung maupun lewat pemerintah terbuang percuma.
”Padahal, secara teknis akademis, ini (ujian nasional) adalah problem. Yang ditonjolkan hanyalah ingatan. Sementara, ingatan itu kan bentuk intelejensi yang paling primitif,” ucapnya.
Pemantapan dan segala implikasi biayanya dipandangnya sebagai implikasi yang wajar. Sebuah sikap kepanikan dan kekhawatiran dari sekolah maupun orangtua.
”Tiap sekolah bagaimanapun berupaya meluluskan siswa sebanyak-banyaknya. Maka, cara apa pun akan dilakukan,” ungkapnya kemudian. Iwan berpendapat senada, ujian nasional itu menyangkut reputasi sekolah. (JON)
BANDUNG, RABU – Ujian nasional memberi dampak luar biasa terhadap pikiran, tenaga, juga biaya calon pesertanya. Sekolah menghabiskan biaya puluhan juta, rata-rata 50 juta rupiah, untuk persiapannya. Sebuah cermin kepanikan masyarakat pendidikan terhadap pelaksanaan ujian nasional.
Demikian salah satu butir hasil temuan Koalisi Pendidikan Kota Bandung yang disampaikan Koordinatornya, Iwan Hermawan, Rabu (16/1). Di salah satu sekolah, menurut Iwan, besarnya biaya persiapan ujian nasional ditambah ujian sekolah mencapai 49 juta rupiah. Itu dibebankan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Di tingkat SMP-SMA besaran dana berkisar 15-70 juta rupiah.
”Sekolah yang APBS-nya besar, biaya yang dianggarkan tentu akan lebih besar. Tidak tertutup kemungkinan, adanya pungutan langsung di luar APBS. Meski di dalam APBS, ujung-ujungnya bebannya (dana) kembali ke masyarakat. Misal, dana Sumbangan Pengembangan Pendidikan (SPP) jadi dinaikkan,” ucapnya.
Berdasarkan pos peruntukkan APBS, dana senilai puluhan juta itu ternyata lebih banyak digunakan untuk biaya pemantapan. Komponennya meliputi biaya panitia, honor guru mata pelajaran (termasuk transportasi), serta alat tulis kantor. Sisanya untuk try out lokal atau regional seperti yang sempat mengundang protes banyak kalangan, tahun lalu.
Di SMAN 13 Kota Bandung misalnya, besaran dana APBS yang dianggarkan untuk optimalisasi pembejalaran (persiapan ujian nasional) sebesar 16 juta rupiah. Namun, karena perkembangan kebutuhan terkini, salah satunya untuk memnuhi standar minimal pelayanan, jumlah dana itu kemudian dirasakan tidak cukup.
”Terpaksa, kekurangannya dikembalikan ke orangtua. Dalam draft, tiap-tiap anak kami minta tambahan 125 hingga 190 ribu rupiah. Tetapi, ini tidak memaksa. Siswa yang tidak mampu, kami bebaskan,” ucap Kepala SMAN 13 Kota Bandung Asep Turniawan.
Biaya penggarapan soal try out dengan komponen biaya konsultasi tim ahli guru menjadi salah satu porsi anggaran terbesar.
Di sekolah ini, pemantapan ujian nasional dilakukan mulai Semester II. Teknisnya yaitu 45 menit per mata pelajaran (IPA lima buah sedangkan IPS enam). Itu dilakukan tiap pagi, pukul 06.45 WIB, menjelang dimulainya pelajaran reguler. Fokus pemantapan pada latihan soal materi kelas I dan II yang berstandarkan standar kompetensi kelulusan atau SKL.
Menurut pakar pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan, ujian nasional hanyalah sebuah pemborosan. Pendidikan terasa kian mahal. Biaya yang dikeluarkan masyarakat langsung maupun lewat pemerintah terbuang percuma.
”Padahal, secara teknis akademis, ini (ujian nasional) adalah problem. Yang ditonjolkan hanyalah ingatan. Sementara, ingatan itu kan bentuk intelejensi yang paling primitif,” ucapnya.
Pemantapan dan segala implikasi biayanya dipandangnya sebagai implikasi yang wajar. Sebuah sikap kepanikan dan kekhawatiran dari sekolah maupun orangtua.
”Tiap sekolah bagaimanapun berupaya meluluskan siswa sebanyak-banyaknya. Maka, cara apa pun akan dilakukan,” ungkapnya kemudian. Iwan berpendapat senada, ujian nasional itu menyangkut reputasi sekolah. (JON)
Label:
2. Manajemen pembiayaan
Bantuan operasional sekolah tidak mendiskriminasikan siswa
Ditulis oleh Reporter Billy Antoro, tanggal 27-02-2009
Jakarta (Mandikdasmen): Bantuan Operasional Sekolah merupakan upaya untuk membangun pendidikan nasional, yang diberikan kepada semua siswa yang terdaftar pada jenjang pendidikan dasar, baik negeri maupun swasta. “Ini merupakan reformasi dalam pembiayaan pendidikan,” kata Sekretaris Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Dr. Bambang Indriyanto di hadapan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, Selasa (17/2/2009).
Para anggota DPRD Sumatera Utara yang berjumlah sembilan orang ini telah melakukan kunjungan kerja ke Departemen Pendidikan Nasional, , Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
Menurut Bambang, sebelum 2005 pembiayaan pendidikan, khusus untuk pendidikan dasar saja yang bertujuan untuk memperkuat aspek kelembagaan. Jadi, yang dibantu adalah pihak sekolah. Tapi, ternyata mekanisme ini tidak memenuhi asas demokratisasi dalam pelayanan pendidikan. Karena itu, pembiayaan pendidikan dirubah berdasarkan siswa. “Ke manapun siswa mendaftar, dia akan mendapat BOS. Jadi BOS tidak mendiskriminasi baik kaya maupun miskin,” ujar Bambang.
Dalam diskusi yang berlangsung dua jam ini, Usman Hasibuan, salah seorang anggota DPRD Sumut berpendapat bahwa banyak sekolah yang tidak membutuhkan dana BOS. “Sebab orangtua siswanya kebanyakan orang kaya,” ucap Usman.
menanggapi pendapat ini, menurut Bambang, sekolah swasta boleh saja menolak dana BOS, tetapi harus berani meringankan beban siswa. Karena, sebagaimana amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, arah pendidikan nasional adalah gratis.
Salah persepsi
Bambang Indriyanto juga menyatakan bahwa saat ini banyak kesalahan persepsi sebagian masyarakat tentang alokasi 20% APBN untuk sektor pendidikan. “Yang beredar di masyarakat, anggaran pendidikan identik dengan anggaran Departemen Pendidikan Nasional,” tegasnya.
Padahal anggaran pendidikan juga diperuntukkan bagi lembaga/instansi yang melakukan fungsi pendidikan. “Semua lembaga negara yang menjalankan peran pendidikan mendapatkan anggaran itu,” jelas Bambang. Pada tahun 2009 ini, Depdiknas menerima anggaran dana Rp 62,098 triliun. Dari dana tersebut, Ditjen Mandikdasmen mengelola Rp 24,7 triliun.
Jakarta (Mandikdasmen): Bantuan Operasional Sekolah merupakan upaya untuk membangun pendidikan nasional, yang diberikan kepada semua siswa yang terdaftar pada jenjang pendidikan dasar, baik negeri maupun swasta. “Ini merupakan reformasi dalam pembiayaan pendidikan,” kata Sekretaris Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Dr. Bambang Indriyanto di hadapan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, Selasa (17/2/2009).
Para anggota DPRD Sumatera Utara yang berjumlah sembilan orang ini telah melakukan kunjungan kerja ke Departemen Pendidikan Nasional, , Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
Menurut Bambang, sebelum 2005 pembiayaan pendidikan, khusus untuk pendidikan dasar saja yang bertujuan untuk memperkuat aspek kelembagaan. Jadi, yang dibantu adalah pihak sekolah. Tapi, ternyata mekanisme ini tidak memenuhi asas demokratisasi dalam pelayanan pendidikan. Karena itu, pembiayaan pendidikan dirubah berdasarkan siswa. “Ke manapun siswa mendaftar, dia akan mendapat BOS. Jadi BOS tidak mendiskriminasi baik kaya maupun miskin,” ujar Bambang.
Dalam diskusi yang berlangsung dua jam ini, Usman Hasibuan, salah seorang anggota DPRD Sumut berpendapat bahwa banyak sekolah yang tidak membutuhkan dana BOS. “Sebab orangtua siswanya kebanyakan orang kaya,” ucap Usman.
menanggapi pendapat ini, menurut Bambang, sekolah swasta boleh saja menolak dana BOS, tetapi harus berani meringankan beban siswa. Karena, sebagaimana amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, arah pendidikan nasional adalah gratis.
Salah persepsi
Bambang Indriyanto juga menyatakan bahwa saat ini banyak kesalahan persepsi sebagian masyarakat tentang alokasi 20% APBN untuk sektor pendidikan. “Yang beredar di masyarakat, anggaran pendidikan identik dengan anggaran Departemen Pendidikan Nasional,” tegasnya.
Padahal anggaran pendidikan juga diperuntukkan bagi lembaga/instansi yang melakukan fungsi pendidikan. “Semua lembaga negara yang menjalankan peran pendidikan mendapatkan anggaran itu,” jelas Bambang. Pada tahun 2009 ini, Depdiknas menerima anggaran dana Rp 62,098 triliun. Dari dana tersebut, Ditjen Mandikdasmen mengelola Rp 24,7 triliun.
Label:
2. Manajemen pembiayaan
Pendidikan dasar gratis : sebuah tonggak sejarah
May 12th, 2005 Oleh: Satria Dharma
Hari Jum’at ini, 13 Mei 2005, jajaran aparat pemerintah Kota Balikpapan, eksekutif maupun legislatifnya akan berangkat studi banding ke Kabupaten Jembrana di Bali untuk mempelajari bagaimana kabupaten kecil dengan penduduk sekitar 251.164 orang (2003) dan APBD sebesar 232 Milyar dan PAD hanya 9,5 M mampu melakukan terobosan bersejarah dengan menggratiskan biaya pendidikan bagi semua pelajarnya sejak tingkat SD s/d SLTA.
Mengapa studi banding ini penting? Karena jika Balikpapan mampu belajar sehingga mampu melaksanakan hal yang sama yaitu membebaskan biaya penddikan bagi siswanya, dan semestinya memang bisa mengingat betapa besarnya potensi kota ini, maka hal tersebut akan menjadi tonggak bersejarah bagi nasib bangsa kita khususnya bagi penduduk Balikpapan.
Tonggak sejarah terpenting dalam mengubah nasib bangsa di masa depan sebenarnya telah dilakukan oleh wakil-wakil rakyat kita di MPR yang dengan gagah berani menetapkan 20 % APBN dan APBD untuk anggaran sektor pendidikan dengan memasukkan amandemen pasal 31 Ayat (3) UUD 1945. Seperti yang dinyatakan oleh Ace Suryadi Ph.D Staf Ahli Mendiknas, keputusan politik tersebut sangat monumental sehubungan dengan tantangan bangsa Indonesia dalam menghadapi persaingan di era tanpa batas ini.
Meski semua sepakat bahwa bahwa sumber daya manusia (SDM) yang berkualitaslah yang diperlukan untuk bersaing dengan negara-negara lain dalam berbagai bidang, khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi, Namun, masih banyak kalangan yang belum ‘sreg’ dengan isi perubahan Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945 tersebut. Alasannya, banyak sektor lain yang juga memerlukan anggaran yang juga besar, khususnya pengembangan ekonomi rakyat.
Amanah undang-undang yang menetapkan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD memiliki orientasi yang sangat jelas, yaitu untuk meningkatkan daya saing bangsa yang semakin lama semakin terpuruk. Namun, amanat ini memang tidak mudah direalisasikan karena sebagian besar komponen dana dalam struktur APBN kita yaitu 34 persen telah dialokasikan untuk pembayaran utang luar negeri kita dan 25 persen untuk dana perimbangan. Kondisi ini memang tidak mudah bagi pemerintah karena pembagian “kue APBN” pada dasarnya adalah zero-sum, naiknya anggaran pendidikan harus dipahami mengandung risiko berkurangnya “pembagian kue” untuk sektor lain.
Tapi itu adalah gambaran nasional. Dalam level propinsi, maupun kota dan kabupaten, Propinsi Kaltim dan semua kabupaten dan kotanya, sebagai propinsi terkaya di Indonesia, sebetulnya mampu untuk mewujudkan cita-cta bangsa tersebut. Kebijakan otonomi daerah sebenarnya telah memberikan kewenangan yang begitu besar bagi setiap kepala daerah untuk mewujudkan cita-cita bangsa tersebut bagi penduduk daerah masing-masing. Dan itulah yang dilakukan oleh Prof DR Drg I Gde Winasa, Bupati Jembrana dengan mewujudkan pembebasan biaya pendidikan bagi penduduknya, disamping biaya rumah sakit gratis, KTP gratis, asuransi kecelakaan gratis, pembebasan PBB pertanian, dll demi kesejahteraan penduduknya.
Menurut Ace, anggaran pendidikan adalah sarana ampuh untuk perwujudan kemakmuran bangsa di masa depan. Untuk itu, anggaran pendidikan haruslah dijadikan sebagai ideologi masa depan. Sebagai ideologi masa depan, orientasi anggaran pendidikan merupakan sarana ampuh untuk perwujudan keadilan dan pemerataan kesempatan pendidikan dalam era otonomi daerah. Untuk itu dibutuhkan sistem pembiayaan yang demokratis dan berkeadilan dimana setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, paling rendah pendidikan dasar. Oleh karena itu, penuntasan wajib belajar pendidikan dasar merupakan prasyarat mutlak untuk dapat membangun sistem pendidikan yang bermutu ke depan.
Subsidi silang melalui variasi besarnya Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) serta pemberian beasiswa untuk siswa-siswa yang kurang mampu yang selama ini dijalankan mempunyai kelemahan yang sangat mendasar yaitu adanya kesulitan struktural dalam mengukur tingkat kemiskinan keluarga siswa sebagai dasar untuk menentukan besarnya SPP, serta menerima beasiswa yang paling tepat. Berapa penghasilan keluarga yang bisa disebut ‘miskin’ dan apa patokannya? Bagaimana menentukan level subsidi bagi setiap orang tua yang dianggap ‘tidak miskin’ dan bagaimana mekanisme untuk memungutnya di level sekolah? Bagaimana sekolah mempertanggungjawabkan subsidi yang diperolehnya dari orang tua? Dll. Pada beberapa negara, subsidi silang melalui mekanisme ini tidak dianggap sebagai kebijakan yang penting dan telah mulai ditinggalkan. Mekanisme yang dilakukan oleh negara-negara maju, dan sekarang diadopsi oleh hampir semua negara, adalah dengan mewujudkan kesempatan pendidikan dasar yang merata dan adil yang dilakukan melalui kebijaksanaan pendidikan dasar yang bebas biaya (free basic education). Hal ini sebenarnya juga telah kita adopsi seperti yang dikehendaki oleh perubahan Pasal 34 Ayat (2) UUD 45 yang menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”.
Di negara maju, “Bebas biaya” sebetulnya tidaklah hanya semata-mata pembebasan SPP (tuition free), tetapi pembebasan pada hampir seluruh komponen biaya pendidikan yang mencakup SPP, buku dan alat, makan siang, bahkan antar-jemput. Orangtua dibebaskan dari segala biaya pendidikan dalam arti yang secara langsung dibayarkan ke sekolah (direct payment), tetapi pembiayaan pendidikan tersebut dibebankan melalui pajak. Hal ini sebenarnya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, misalnya, melalui Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau pajak khusus untuk pendidikan. Melalui mekanisme ini Indonesia dapat menjadikan “sekolah gratis” dan pajak pendidikan dalam mewujudkan kesempatan pendidikan yang merata dan adil. Mekanisme pajak untuk pendidikan ini penting karena pelaksanaan Pasal 31 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945 belum akan berwujud kenyataan mengingat permasalahan struktur anggaran tadi.
Menurut Ace, mekanisme pajak yang menganut prinsip “semua anak pada dasarnya adalah anak dari semua orangtua” jauh lebih menguntungkan dibandingkan strategi memvariasikan besarnya SPP dan beasiswa, karena semua keluarga merasa bertanggung jawab untuk ikut serta membiayai pendidikan. Melalui mekanisme pajak dapat dikumpulkan dana yang lebih besar, karena basis pembayar pajak lebih luas daripada basis pembayar SPP. Sapto Sakti dari Sampoerna Foundation menginformasikan bahwa 2% keuntungan dari perusahaan-perusahaan besar macam Telkom, Gudang Garam, Sampoerna, Astra, dll saja sebenarnya bisa mencapai 160 M setahun. Suatu jumlah yang lebih dari cukup untuk membiayai anggaran pendidikan kita. Kaltim yang memiliki begitu banyak perusahaan besar tentunya akan dapat mengumpulkan dana pendidikan yang cukup besar untuk membiayai pendidikannya. Dalam hubungannya dengan pajak, alokasi dana perimbangan, khususnya Dana Alokasi Umum (DAU), untuk sektor pendidikan ditentukan oleh kemampuan daerah dari sektor pajak (untuk) pendidikan tersebut. Melalui mekanisme pajak, maka anggaran riil pendidikan bisa melonjak hampir dua kali lipat.
Menurut Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (BPS, 1996), besarnya biaya pendidikan saat ini terdiri dari dana yang bersumber dari keluarga murid (45 persen) dan dari sumber APBN (55 persen). Namun, dana dari sumber orangtua siswa yang dibayarkan langsung ke sekolah adalah dana “siluman” yang rawan penyimpangan karena tidak ada perangkat kontrol yang jelas. Saat ini dana yang dikutip sekolah dari orang tua mencapai angka milyaran rupiah dan tidak pernah dipertanggungjawabkan secara akuntabel dan jelas rawan korupsi. Padahal kita sadar bahwa korupsilah yang menyebabkan negara kita ini terus terpuruk meski resesi sudah berlalu lama. Jika orangtua murid membayar melalui mekanisme pajak, maka pengelolaannya akan semakin efisien karena perangkat kontrolnya jelas. Akuntabilitas dan efisiensi sebagai upaya untuk menghapus korupsi di sekolah adalah kunci utama untuk memperbaiki kondisi pendidikan kita. Inilah yang yang dilakukan oleh Kabupaten Jembrana dalam membebaskan biaya pendidikan bagi penduduknya. Dan inilah yang hendak dipelajari oleh Pemerintah Kota Balikpapan.
Hari Jum’at ini, 13 Mei 2005, jajaran aparat pemerintah Kota Balikpapan, eksekutif maupun legislatifnya akan berangkat studi banding ke Kabupaten Jembrana di Bali untuk mempelajari bagaimana kabupaten kecil dengan penduduk sekitar 251.164 orang (2003) dan APBD sebesar 232 Milyar dan PAD hanya 9,5 M mampu melakukan terobosan bersejarah dengan menggratiskan biaya pendidikan bagi semua pelajarnya sejak tingkat SD s/d SLTA.
Mengapa studi banding ini penting? Karena jika Balikpapan mampu belajar sehingga mampu melaksanakan hal yang sama yaitu membebaskan biaya penddikan bagi siswanya, dan semestinya memang bisa mengingat betapa besarnya potensi kota ini, maka hal tersebut akan menjadi tonggak bersejarah bagi nasib bangsa kita khususnya bagi penduduk Balikpapan.
Tonggak sejarah terpenting dalam mengubah nasib bangsa di masa depan sebenarnya telah dilakukan oleh wakil-wakil rakyat kita di MPR yang dengan gagah berani menetapkan 20 % APBN dan APBD untuk anggaran sektor pendidikan dengan memasukkan amandemen pasal 31 Ayat (3) UUD 1945. Seperti yang dinyatakan oleh Ace Suryadi Ph.D Staf Ahli Mendiknas, keputusan politik tersebut sangat monumental sehubungan dengan tantangan bangsa Indonesia dalam menghadapi persaingan di era tanpa batas ini.
Meski semua sepakat bahwa bahwa sumber daya manusia (SDM) yang berkualitaslah yang diperlukan untuk bersaing dengan negara-negara lain dalam berbagai bidang, khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi, Namun, masih banyak kalangan yang belum ‘sreg’ dengan isi perubahan Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945 tersebut. Alasannya, banyak sektor lain yang juga memerlukan anggaran yang juga besar, khususnya pengembangan ekonomi rakyat.
Amanah undang-undang yang menetapkan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD memiliki orientasi yang sangat jelas, yaitu untuk meningkatkan daya saing bangsa yang semakin lama semakin terpuruk. Namun, amanat ini memang tidak mudah direalisasikan karena sebagian besar komponen dana dalam struktur APBN kita yaitu 34 persen telah dialokasikan untuk pembayaran utang luar negeri kita dan 25 persen untuk dana perimbangan. Kondisi ini memang tidak mudah bagi pemerintah karena pembagian “kue APBN” pada dasarnya adalah zero-sum, naiknya anggaran pendidikan harus dipahami mengandung risiko berkurangnya “pembagian kue” untuk sektor lain.
Tapi itu adalah gambaran nasional. Dalam level propinsi, maupun kota dan kabupaten, Propinsi Kaltim dan semua kabupaten dan kotanya, sebagai propinsi terkaya di Indonesia, sebetulnya mampu untuk mewujudkan cita-cta bangsa tersebut. Kebijakan otonomi daerah sebenarnya telah memberikan kewenangan yang begitu besar bagi setiap kepala daerah untuk mewujudkan cita-cita bangsa tersebut bagi penduduk daerah masing-masing. Dan itulah yang dilakukan oleh Prof DR Drg I Gde Winasa, Bupati Jembrana dengan mewujudkan pembebasan biaya pendidikan bagi penduduknya, disamping biaya rumah sakit gratis, KTP gratis, asuransi kecelakaan gratis, pembebasan PBB pertanian, dll demi kesejahteraan penduduknya.
Menurut Ace, anggaran pendidikan adalah sarana ampuh untuk perwujudan kemakmuran bangsa di masa depan. Untuk itu, anggaran pendidikan haruslah dijadikan sebagai ideologi masa depan. Sebagai ideologi masa depan, orientasi anggaran pendidikan merupakan sarana ampuh untuk perwujudan keadilan dan pemerataan kesempatan pendidikan dalam era otonomi daerah. Untuk itu dibutuhkan sistem pembiayaan yang demokratis dan berkeadilan dimana setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, paling rendah pendidikan dasar. Oleh karena itu, penuntasan wajib belajar pendidikan dasar merupakan prasyarat mutlak untuk dapat membangun sistem pendidikan yang bermutu ke depan.
Subsidi silang melalui variasi besarnya Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) serta pemberian beasiswa untuk siswa-siswa yang kurang mampu yang selama ini dijalankan mempunyai kelemahan yang sangat mendasar yaitu adanya kesulitan struktural dalam mengukur tingkat kemiskinan keluarga siswa sebagai dasar untuk menentukan besarnya SPP, serta menerima beasiswa yang paling tepat. Berapa penghasilan keluarga yang bisa disebut ‘miskin’ dan apa patokannya? Bagaimana menentukan level subsidi bagi setiap orang tua yang dianggap ‘tidak miskin’ dan bagaimana mekanisme untuk memungutnya di level sekolah? Bagaimana sekolah mempertanggungjawabkan subsidi yang diperolehnya dari orang tua? Dll. Pada beberapa negara, subsidi silang melalui mekanisme ini tidak dianggap sebagai kebijakan yang penting dan telah mulai ditinggalkan. Mekanisme yang dilakukan oleh negara-negara maju, dan sekarang diadopsi oleh hampir semua negara, adalah dengan mewujudkan kesempatan pendidikan dasar yang merata dan adil yang dilakukan melalui kebijaksanaan pendidikan dasar yang bebas biaya (free basic education). Hal ini sebenarnya juga telah kita adopsi seperti yang dikehendaki oleh perubahan Pasal 34 Ayat (2) UUD 45 yang menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”.
Di negara maju, “Bebas biaya” sebetulnya tidaklah hanya semata-mata pembebasan SPP (tuition free), tetapi pembebasan pada hampir seluruh komponen biaya pendidikan yang mencakup SPP, buku dan alat, makan siang, bahkan antar-jemput. Orangtua dibebaskan dari segala biaya pendidikan dalam arti yang secara langsung dibayarkan ke sekolah (direct payment), tetapi pembiayaan pendidikan tersebut dibebankan melalui pajak. Hal ini sebenarnya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, misalnya, melalui Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau pajak khusus untuk pendidikan. Melalui mekanisme ini Indonesia dapat menjadikan “sekolah gratis” dan pajak pendidikan dalam mewujudkan kesempatan pendidikan yang merata dan adil. Mekanisme pajak untuk pendidikan ini penting karena pelaksanaan Pasal 31 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945 belum akan berwujud kenyataan mengingat permasalahan struktur anggaran tadi.
Menurut Ace, mekanisme pajak yang menganut prinsip “semua anak pada dasarnya adalah anak dari semua orangtua” jauh lebih menguntungkan dibandingkan strategi memvariasikan besarnya SPP dan beasiswa, karena semua keluarga merasa bertanggung jawab untuk ikut serta membiayai pendidikan. Melalui mekanisme pajak dapat dikumpulkan dana yang lebih besar, karena basis pembayar pajak lebih luas daripada basis pembayar SPP. Sapto Sakti dari Sampoerna Foundation menginformasikan bahwa 2% keuntungan dari perusahaan-perusahaan besar macam Telkom, Gudang Garam, Sampoerna, Astra, dll saja sebenarnya bisa mencapai 160 M setahun. Suatu jumlah yang lebih dari cukup untuk membiayai anggaran pendidikan kita. Kaltim yang memiliki begitu banyak perusahaan besar tentunya akan dapat mengumpulkan dana pendidikan yang cukup besar untuk membiayai pendidikannya. Dalam hubungannya dengan pajak, alokasi dana perimbangan, khususnya Dana Alokasi Umum (DAU), untuk sektor pendidikan ditentukan oleh kemampuan daerah dari sektor pajak (untuk) pendidikan tersebut. Melalui mekanisme pajak, maka anggaran riil pendidikan bisa melonjak hampir dua kali lipat.
Menurut Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (BPS, 1996), besarnya biaya pendidikan saat ini terdiri dari dana yang bersumber dari keluarga murid (45 persen) dan dari sumber APBN (55 persen). Namun, dana dari sumber orangtua siswa yang dibayarkan langsung ke sekolah adalah dana “siluman” yang rawan penyimpangan karena tidak ada perangkat kontrol yang jelas. Saat ini dana yang dikutip sekolah dari orang tua mencapai angka milyaran rupiah dan tidak pernah dipertanggungjawabkan secara akuntabel dan jelas rawan korupsi. Padahal kita sadar bahwa korupsilah yang menyebabkan negara kita ini terus terpuruk meski resesi sudah berlalu lama. Jika orangtua murid membayar melalui mekanisme pajak, maka pengelolaannya akan semakin efisien karena perangkat kontrolnya jelas. Akuntabilitas dan efisiensi sebagai upaya untuk menghapus korupsi di sekolah adalah kunci utama untuk memperbaiki kondisi pendidikan kita. Inilah yang yang dilakukan oleh Kabupaten Jembrana dalam membebaskan biaya pendidikan bagi penduduknya. Dan inilah yang hendak dipelajari oleh Pemerintah Kota Balikpapan.
Label:
2. Manajemen pembiayaan
Langganan:
Postingan (Atom)