Sabtu, 19 Desember 2009

Masayarakat Madani

2.1 Pengertian
Makna utama dari masyakat madani adalah masyarakat yang menjadikan nilai-nilai peradaban, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi sebagai ciri utama. Akan tetapi jika melihatnya secara harfiah, maka kata Madani berasal dari bahasa Arab مدن yang artinya menempati suatu tempat (Ar Raziy dalam Mukhtar as Shihah hal.742). Dari kata inilah kemudian dibentuk kata مدينة yang berarti kota atau tempat tinggal sekelompok orang, sehingga lawan kata المدن adalah البادية yang berarti kehidupan yang masih nomaden. Bentuk jamaknya adalah مدائن atau مدن . Kata مدني merupakan bentuk dari mashdar shina’iy, yang menunjukkan arti yang memiliki orang kota (من أهل المدينة.).
Hanya saja dalam perkembangan berikutnya, kata madani --juga kata hadlarah--, ini digunakan oleh orang Arab untuk menerjemahkan istilah bahasa Inggris civilization. Justru pada akhirnya kata madani yang berarti civilization yang sering dipakai dalam perbincangan kehidupan masyarakat dan negara. Dalam konteks perangkat negara, madani juga memiliki arti sipil (bukan militer), sedangkan dalam konteks hukum, madani berarti bukan pidana. Sehingga, hukum perdata sering disebut قانون مدني, seperti undang-undang sipil perkawinan disebut dengan قان الزواج المدني . Ketika ada istilah civil society yang digunakan para pemikir barat untuk merujuk ciri khas masyarakat tertentu, maka diterjemahkan dengan المجتمع المدني, atau kemudian diindonesiakan menjadi masyarakat madani atau masyarakat sipil. Jika yang dimaksud masyarakat madani adalah civil society, maka untuk menilainya apakah sesuai dengan Islam atau bukan, kita harus melacak konsep civil society tersebut.
Prof Dr.Din Syamsuddin dalam bukunya “etika agama dalam membangun masyarakat madani”. Beliau menyebutkan bahwa masyarakat madani, terdiri dari dua suku kata yaitu “ummah” dan “madinah”, dua kata kunci yang memiliki eksistensi sosial kualitatif -memiliki keutamaan keutamaan tertentu- yang nantinya menjadi nilai-nilai dasar dan nilai-nilai instrumental bagi terbentuknya masyarakat madani. Kata “ummah” misalnya, yang biasanya dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu seperti dalam istilah - istilah “ummah islamiyah”, “ummah wasathan”, “ummah muhammadiyah”, “khoiru ummah” dan lain lain, merupakan pranata sosial utama yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW,. selepas beliau hijrah ke Madinah.
Dalam bahasa Arab, terminology “ummah” menenunjukkan pengertian komunitas keagamaan tertentu atau yang memiliki keyakinan keagamaan yang sama, dan secara umum terminologi “ummah” dalam al-Qur’an menunjukkan suatu komunitas yang memunyai basis solidaritas tertentu atas dasar komitmen keagamaan, etnis, dan moralitas.
Sedangkan dalam perspektif sejarah, “ummah” yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah dimaksudkan untuk membina solidaritas di kalangan para pemeluk Islam, yaitu kaum Muhajirin dan Anshar pada waktu itu. Dan khusus bagi kaum Muhajirin, konsep “ummah” merupakan system sosial alternative pengganti sisem sosial tradisional, sisem kekabilahan dan keseukuan yang mereka tinggalkan, lantaran memeluk Islam. Sehingga sebagai system alternative, konsep “ummah” bersifat lintas-kesukuan atau kultural.
Hal di atas menunjukkan bahwa konsep “ummah” sesungguhnya lebih mengandung kepada konotasi sosial, ketimbang konotasi politik. Sedangkan isilah-istilah yang sering dipahami sebagai cita-cita sosial Islam dan memiliki konotasi politik adalah “khilafah”, “dawlah” dan “hukumah”. Istilah pertama, “khilafah” misalnya, disebutkan sembilan kali dalam al-Qur’an, tapi kesemuanya bukan dalam konotasi system politik, melainkan dalam konteks misi kehadiran manusia di muka bumi sebagai seorang kholifah. Oleh karena itu, penisbatan konsep “khalifah” dengan institusi politik tidak mempunyai landasan teologis.
Begitupula istilah “dawlah”, yang diartikan sebagai Negara (nation state) dan sering dipahami sebagai konsep masyarakat madani yang harus ditegakkan, tidak terdapat dalam al-Qur’an. Al-Qur’an hanya menyebutkan sekali kata kerja yang berhubungan dngan kata “dawlah”, yaitu “nudawilu” (3:140) yang berarti “kami pergilirkan”.
Kata “hukumah” yang diartikan pemerintah juga tidak terdapat dalam al-Qur’an. Al-Qur’an memang banyak menyebut bentuk-bentuk deriatif dari akar kata “hukumah” yaitu “hakama”, tapi dalam pengertian dan konteks yang berbeda. Ayat-ayat al-Qur’an yang dipakai untuk menunjukkan adanya pemerintahan Islam, seperti yang terdapat dalam teori “hakimiyan” (divine sovereignty, atau pemerintah ilahi) adalah ayat-ayat 44,45, dan 47 dari surah al-Maidah. Namun perlu dicatat bahwa pengeritan kata-kata “yahkumu” dalam ayat-ayat tersebut tidak menunjukkan konsep pemerintahan.
Kata “ummah” pun disebut sebanyak 54 kali dalam al-Qur’an, baik dalam bentuk tunggal maupun dalam bentuk jamak. Penyebutan al-Qur’an dan juga hadist menunjukan kepada masyarakat madani. Sebagai masyarakat madani, konsep umat Islam ditgaskan aas dasar solidaritas keagamaan dan merupakan manifestasi dari keprihatinan moral terhadap eksistensi dan kelestarian masyarakat yang berorientasi kepada nilai-nilai Islam. Meskipun begitu konsep ummah ini juga sesuai dengan misi Islam sebagai agama “rohmatan lil’alamin” yang mengandung nilai-nilai universal, dan sholih atau relevan terhadap kondisi dan zaman.
Maka, “ummah Islamiyah” yang kala itu dibagun Nabi Muhammad di Madinah merupakan model yang ideal, tidak saja ideal pada masanya (abad ke-7) namun juga sangat relevan dengan abad modern dewasa ini (abad ke-21), meskipun tentunya perlu dikondisikan sesuai dengan perkembangan dan modernitas yang terjadi saat ini. Namun, ‘allakulihal konsep madinah yang berangkat dari istilah “ummah” yang berarti kota, berhubungan dan mempunya akar kata yang sama dengan kata “tamaddun” yang berarti peradaban. Perpaduan pengertian ini membawa suatu persepsi ideal bahwa “madinah” adalah lambang peradaban yang kosmopolit. Bukan suatu kebetulan bahwa kata “madinah” juga merupakan kata-benda-tempat dari kata “din” (agama). Korelasi demikian menunjukkan bahwa cita-cita ideal agama (Islam) adalah terwujudnya suatu masyarakat kosmopolitan yang berperadaban tinggi-sebagai struktur fisik dari umat Islam.
Maka bisa disimpulkan dari pendapat Prof.Dr.Din Syamsuddin bahwa terma “masyarakat madani” berasal dari dua istilah bahasa arab yaitu “ummah” dan “madinah” yang kemudian menjadi konsep masyarakat Islam ideal, berpacu pada konsep “ummah Islamiyah” yang diterapkan Nabi Muhammad SAW, di Madinah (dulu bernama yatsrib) bagi kaum Muhajirin dan Anshar. Meskipun beliau juga meng-korelasikan “madinah” dengan istilah “tamaddun” peradaban, ataupun ismul masdar dari kata “diyn” yaitu “madiynatan” sebagai perluasan makna dari kata madinah, yang akhirnya menimbulkan pemahaman yang komperhensif yaitu konsep ber-masyarakat yang saling menolong dan menghargai, sangat menjunjung tinggi akhlak dan etika, dan mempunyai peradaban yang maju, tentunya tetap berlandaskan pada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Sementara Ahmad Musyaffa Lc, direktur SINAI, ketika diwawancarai kru sinar, mengatakan bahwa pada dasarnya arti kata madani secara etimologi adalah madinah, dalam artian sekelompok kumpulan orang yang berpendidikan dan mempunyai konsep pemahaman terhadap orientasi hidup yang obvious dan baik. Tentunya dalam pemaknaan seperti itu perlu di dukung juga dengan adanya sebuah norma-norma yang berdasarkan hukum, moralitas dan dikokohkan dengan keimanan.
Wacana civil society yang mulai populer di Indonesia semenjak akhir dasawarsa 1980-an, sebenarnya penuh dengan anakronisme. Pada gilirannya, hal ini melahirkan ‘manipulasi’ konsep civil society atau pemaknaan sendiri terhadap konsep civil society yang cenderung lepas dari konsep aslinya, yang memiliki latar belakang historis yang unik, yaitu tradisi Eropa non-Islam (Judeo-Christian Traditions). (Toha Hamim, 2000)
Anakronisme, seperti diperkenalkan oleh Mohammed Arkoun dan Mohammad Abed Al Jabiri, adalah pembacaan atas sebuah pemikiran dengan tafsiran-tafsiran yang berasal dari luar konteks historisitasnya.(Ahmad Baso, 1999). Nurcholis Madjid, misalnya, melakukan penafsiran konsep civil society sebagai ‘masyarakat madani’, melalui pendekatan semantik-spekulatif dan projecting back, yang merujuk kepada masyarakat Madinah yang ditegakkan oleh Nabi Muhammad SAW. Padahal, civil society memiliki latar belakang historis yang sangat berbeda dengan masyarakat Madinah tersebut. Konsep civil society lahir dan tumbuh dari daratan Eropa sekitar abad ke-17 M dalam konteks masyarakat yang mulai melepaskan diri dari dominasi agamawan dan para raja yang berkuasa atas dasar legitimasi agama. Agama saat itu mulai tersekularisasi dalam arti wewenang dan legitimasi kekuasaan mulai dilepaskan dari tangan agamawan. Di Eropa itu pula tumbuh ide demokrasi yang diawali dengan Revolusi Perancis (1789) dan tumbuh pula sistem ekonomi kapitalisme yang liberalistik. AS Hikam dalam kaitan ini menurutkan bahwa :
“Civil society sebagai gagasan adalah anak kandung filsafat Pencerahan (Enlightenment) yang meretas jalan bagi munculnya sekularisme sebagai weltanschauung yang menggantikan agama, dan sistem politik demokrasi sebagai pengganti sistem monarkhi.” (Ahmad Baso, 1999)
Dengan demikian, civil society aslinya adalah bersifat sekularistik, yang telah mengesampingkan peran agama dari segala aspek kehidupan. Dan tentu saja civil society tidak dapat dilepaskan dari kesatuan organiknya dengan konsep-konsep Barat lainnya, seperti liberalisme, kapitalisme, rasionalisme, dan individualisme. Maka adalah suatu anakronisme, tatkala Nurcholis Madjid menafsirkan konsep civil society dengan merujuk kepada masyarakat Madinah pada masa Rasulullah SAW, yang jelas tidak mengenal dan tidak pernah menerapkan sekulerisme, liberalisme, rasionalisme, dan ide-ide Barat lainnya.
Oleh karena itu, civil society dipandang dengan masyarakat madani yang pada masyarakat idial di [kota] Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam masyarakat tersebut Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir Muslim menganggap masyarakat [kota] Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam yang dapat dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society"[Thoha Hamim, 1999:4].
Menurut Komaruddin Hidayat, bagi kalangan intelektual Muslim kedua istilah [masyarakat agama dan masyarakat madani] memilki akar normatif dan kesejarahan yang sama, yaitu sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan sebagaimana yang diwujudkan Muhammad SAW di Madinah, yang berarti "kota peradaban", yang semula kota itu bernama Yathrib ke Madinah difahami oleh umat Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai upaya Rasulullah Muhammad untuk mewujudkan sebuah masyarakat Madani, yang diperhadapkan dengan masyarakat Badawi dan Nomad [Kamaruddin Hidayat, 1999:267].
2.2 Ciri-ciri Masyarakat Madani
Masyarakat madani dan ciri masyarakat dalam al- Qur'an yang mengeksplor ayat-ayat yang melegitimasi ciri atau karakteristik masyarakat madani. Masyarakat madani merupakan masyarakat yang mengacu pada kehidupan masyarakat Madinah pada masa kepemimpinan Rasulullah dengan ciri adanya demokrasi, toleransi, pluralisme, keadilan sosial dan Hak Asasi Manusia (HAM). Kelima ciri tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain atau hanya mengambil salah satunya saja, melainkan merupakan satu kesatuan yang menjadidasar dan nilai bagi eksistensi masyarakat madani.
Kelima ciri tersebut juga tak lepas dari prinsip-prinsip Piagam Madinah yang dipandang sebagai konstitusi pertama di dunia. Prinsip-prinsip dalam piagam Madinah termuat dalam 47 pasal yang berisi tentang persamaan umat dan kesatuan,kebebasan, toleransi beragama, tolong-menolong dan membela yang teraniaya, musyawarah, keadilan, persamaan hak dan kewajiban, hidup bertetangga, pertahanandan perdamaian, amar ma’ruf nahi munkar serta ketakwaan dan kepemimpinan.
Kelima karakteristik tersebut selain tak lepas dari prinsip-prinsip dalam Piagam Madinah, juga sejalan dan berkesesuaian dengan al- Quran dan Hadits. Surah Ali Imran [3]: 159 mengungkap tentang musyawarah yang sesuai dengan konsepsi demokrasi. Toleransi mendapat legitimasi dalam surah al- Hujurat[49]: 13. Pluralisme diungkap dalam surah al- Baqarah [2]: 62 yang lebih spesifik membahas tentang pluralisme agama. Surah an- Nisa’ [4]: 58 menyatakan tentang keadilan sosial yang terfokus pada penyampaian amanat dan penegakan hukum.Terakhir, ayat HAM yang khusus berbicara tentang HAM dalam kebebasan beragama. Dalam hal ini terdapat pada surah al- Baqarah [2]: 256.
Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125. Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.
Selain itu, terdapat karakteristik masyarakat madani secara umum, diantaranya:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuh kembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya.
11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
14. Berakhlak mulia.
Setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani. Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat 13
Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain.
Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat nilai-nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).
Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani secara umum yakni sbb:
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).
Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:
1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.
2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.”
Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
2.3 Asal Mula Masyarakat Madani
Terlepas dari perdebatan darimana konsep masyarakat madani itu berasal. Penulis berusaha menelaahnya dari persfektif pemikiran Hukum Islam. Tujuannya, yakni ingin membuktikan bahwa jika benar konsep masyarakat madani itu berasal dari inspirasi masyarakat madinah yang di bangun oleh Rasulullullah saw, maka inspirasi tersebut tidak mungkin di elakkan dengan perkembangan hukum Islam ketika rasul berada di madinah, ia membuat kesepakatan di antara penduduk madinah, kesepakatan ini di kenal dengan nama "Piagam Madinah", lebih dari itu ketika di madinah juga, Rasul di tuntut oleh masyarakat yang sedang berkembang untuk memberikan keputusan . Keputusan hukum dari waktu ke waktu . Karena itu, Rasulullah di madinah merupakan salah satu fase pembentukan hukum Islam.
Istilah masyarakat madani sendiri, berasal dari Term" madani". Nurcholis Madjid berpendapat bahwa konsep madaniyyah, memiliki arti peradaban. Adapun "madinah" adalah pola kehidupan sosial yang sopan yang di tegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh pada peraturan atau hukum-hukum lebih lanjut, Nurcholis madjid menyatakan bahwa :
Dalam Konteks Jazirah Arabia, Konsep peradaban itu terkait erat dengan kehidupan menetap (Tsaqafah} di suatu tempat sehingga suatu pola hidup bermasyarakat tampak hadir ( hadharah) di tempat itu. Maka, masih dalam peristilahan arab, Tsafaqah menjadi berarti "kebudayaan", dan hadharah menjadi “peradaban", sama dengan madaniyyah. Dalam hal ini, pandangan Nurchalis madjid tentang istilah Madani tersebut sangat identik dengan komunitas masyarakat yang berbudaya dan berperadaban. hal senada juga di utarakan oleh Muhammad AS Hikam yang menyatakan bahwa penggunaan istilah arab "madani" (dari kata “madinah” ) mengandung arti gagasan masyarakat yang beradab sebagai lawan masyarakat yang tidak beradab atau berbudaya. Dengan begitu, istilah madani adalah istilah yang mengacu pada komunitas yang beradab yang di balut pada bingkai-bingkai hukum. Jadi, peran sangat menentukan terhadap munculnya istilah madani.
Gambaran yang jelas mengenai arti “madani” juga di utarakan oleh Olaf Schumann:
Pada umumnya, Kata “madinah” di terangkan sebagai “tempat”, dimana din di tegakkan, atau tempat berlakunya din di tegakkan, atau tempat berlakunya din. Dengan demikian, paham madinah dan demikian juga paham madani, sangat erat kaitannya dengan agama hal yang tidak jauh berbeda daripada paham polis di zaman yunani. Pemahaman ini tampak pula dalam bahasa ibrani modern (ivrit) di mana “medinat” di gunakan dalam arti “negara”, seperti “medinat Israel” berarti negara Israel. Juga di situ hubungan dengan (hukum) agama .Yakni agama yahudi dan pengaturannya sebagaimana ia di perkembangkan dalam Talmud, tetap sangat nyata, sehingga , sehingga perlakuan hukum terhadap orang-orang bukan yahudi tetap berorientasi pada system “millet” yang di warisi oleh kesultanan osmanli dengan pemerintahan mandat inggris. Namun, apa itu din yang di berlakukan dalam medinat al nabi? Dengan merujuk pada Al qur-anul karim maka dapat di katakan apa yang tadi telah di singgung : Din di sisi Allah ialah islam, dan ia menunjukkan pada tauhid”.

Pendapat schumman selintas hampir sama dengan Nurchalis Madjid , bahkan ia malah mengatakan bahwa istilah “madani” juga merupakan konsep yang di temukan dalam bahasa ibrani. Oleh karena itu, konsep”madani” bukan hanya “milik” muslim semata-mata, tapi juga “milik” agama yahudi.
Sementara itu, kata “Masyarakat Madani” pertama kali di perkenalkan oleh Dato seri Anwar Ibrahim_ketika itu Deputi Perdana Menteri Dan Menteri keuangan Malaysia_dalam suatu forum ilmiah festival istiqlal tahun 1995. Dalam ceramahnya yang berjudul “Islam dan pembentukan Masyarakat Madani”, ia mengemukakan bahwa yang di maksud dengan masyarakat madani ialah system sosial yang subur dan di asaskan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Adapun pengertian masyarakat madani menurut pemikir Islam di Indonesia digambarkan setidaknya oleh Abdul Munir Mulkhan, Bahtiar Effendy dan Dawan Rahardjo. Abdul Munir Mulkhan berpendapat bahwa istilah masyarakat madani setidaknya mempunyai tiga arti yaitu:(1) Masyarakat madani adalah masyarakat merdeka terhadap setiap bentuk intervensi negara yang menguasai seluruh wacana publik dalam wujud konstitusi dan hegemoni elite penguasa dan negara cenderung diperlakukan sebagai yang selalu benar di bawah perlindungan elit yang “disakralkan”; (2) Masyarakat Madani adalah dekonstruksi peran negara,lembaga modern dan syariah.
Hal ini disebabkan kegagalan figh dalam melakukan peran publik sebagaiman tuntutan masyarakat kontemporer; (3) Masyarakat madani adalah kritik atas birokratisme religiositas seperti politik dan ekonomi.Selain memberi masyarakat madani tersendiri, Mulkhan juga memberikan definisi “masyarakat madani” dalam arti “masyarakat sipil”,yaitu sebuah tata kehidupan masyarakat yang benar-benar terbuka secara ideologi maupun teologi,karena publiklah yang paling berhak merumuskan ideologi,hingga cita-cita masyarakatnya melalui proses induksi berkelanjutan. Lebih lanjut,Mulkhan berpendapat bahwa masyarakat madani yang ideal bukanlah masyarakat ketika kebenaran dan kebaikan menjadi hegemoni elite (ahli syari’ah/ulama) melalui status sosial, pendidikan dan sejarah sosialnya.
Adapun Bahtiar Effendy, berpendapat bahwa konsep masyarakat madani adalah terbentuknya lembaga-lembaga atau organisasi di luar negara yang mempunyai otonomi relatif,dan memerankan fungsi kontrol terhadap proses penyelenggaraan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan .Dawan Rahardjo berpendapat bahwa “masyarakat madani”mengandung tiga hal,yakni agama,peradaban dan perkotaan. Dawam rahardjo berpendapat bahwa “masyarakat madani” mengandung tiga hal, yakni agama, peradaban dan perkotaan.
Dari paparan yang di kemukakan oleh pemikir-pemikir Islam tentang masyarakat madani dapat di simpulkan . pertama, masyarakat madani adalah masyarakat beradab yang di ikat oleh masyarakat yang beradab yang di ikat oleh bingkai hukum islam. Tanpa pelaksanaan hukum islam, sulit untuk mewujudkan masyarakat madani, jika tidak di katakana mustahil. Peran hukum Islam ini telah di perlihatkan oleh Rasulullah ketika berada di madinah.
Kedua, untuk menciptakan masyarakat madani, penulis menggagas dan manawarkan satu bentuk pemikiran hukum islam, yakni fiqh lokal yaitu fiqh indoneia yang nantinya akan menjawab persoalan yang sedang berkembang dalam konteks ke-indonesiaan.
2.4 Prinsip-prinsip Masyarakat Madani
Secara formal Piagam Madinah mengatur hubungan sosial antar komponen masyarakat. Pertama, antar sesama muslim, bahwa sesama muslim adalah satu ummat walaupun mereka berbeda suku. Kedua, hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim didasarkan pada prinsp bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati dan menghormati kebebasan beragama. Akan tetapi secara umum, sebagaimana terbaca dalam teks, piagam Madinah mengatur kehidupan sosial penduduk Madinah secara lebih luas. Ada dua nilai dasar yang tertuang dalam piagam Madinah, yang menjadi dasar bagi pendirian sebuah negara Madinah kala itu. Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan (al-musawwah wal-'adalah) Kedua, inklusifisme atau keterbukaan. Kedua prinsip itu lalu dijabarkan dalam dan ditanamkan dalam bentuk beberapa nilai universal, seperti konsistensi (i'tidal), keseimbangan (tawazun), moderat (tawasut) dan toleran (tasamuh). Oleh sebab itu, dalam negeri Madinah saat itu, walaupun penduduknya heterogen (baik dalam arti agama, ras, suku dan golongan-golongan) kedudukannya sama, masing-masing memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan melaksanakan aktivitas dalam bidang sosial ekonomi. Setiap pihak mempunyai kebebasan yang sama untuk membela Madinah tempat tinggal mereka.
Adapun menurut Sukidi yang dikutip oleh H.A.R Tilaar (1999:160) terdapat sepuluh prinsip dasar yang tercantum dalam Piagam Madinah, yaitu :
1. Prinsip kebebasan beragama
2. Prinsip persaudaraan seagama
3. Prinsip persatuan politik dalam meraih cita-cita bersama
4. Prinsip saling membantu yatu setiap orang mempunyai keududkan yang sama sebagai
angoota masyarakat
5. Prinsip persamaan hak dan kewajiban warga negara terhadap Negara
6. Prinsip persamaan di depan hukum bagi setiap warga Negara
7. Prinsip penegakan hukum demi tegaknya keadilan dan kebenaran tanpa pandang bulu
8. Prinsip pemberlakuan hukum adat yang tetap berpedoman pada keadilan dan
kebenaran
9. Prinsip perdamaian dan kedamaian. Hal ini berarti pelaksanaan prinsip-prinsip
masyarakat madaniah tersebut tidak boleh mengorbankan keadilan dan kebenaran
10. Prinsip pengakuan hak atas setiap orang atau individu. Prinsip ini adalah pengakuan
terhadap penghormatan atas hak asasi setiap manusia.
2.5 Masyarakat Madani Dalam Sejarah
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
1) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

2.6 Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Dalam kontek masyarakat Indonesia, dimana umat islam adalah mayoritas, peranan umat islam untuk mewujudkan masyarakat madani sangat menentukan. Kondisi masyarakat Indonesia sangat bergantung pada kontribusi yang diberikan oleh umat islam. Peranan umat islam itu dapat direalisasikan melalui jalur hukum, sosial-politik, ekonomi dan yang lain. Sistem hukum, sosial-politik, ekonomi dan yang lain di Indonesia, memberikan ruang untuk menyalurkan aspirasinya secara kontruktif bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan. Permasalahan pokok yang masih menjadi kendala saat ini adalah kemampuan dan konsistensi umat islam Indonesia terhadap karakter dasarnya untuk mengimplementasikan ajaran islam dalam kehidupan berbansga dan bernegara melalui jalur-jalur yang ada. Sekalipun umat Islam secara kuantitatif mayoritas, tetapi secara kualitatif masih rendah sehingga perlu pemberdayaan secara sistematis. Sikap amar ma’ruf nahi munkar juga masih sangat lemah. Hal itu dapat dilihat dari fenomena-fenomena sosial yang bertentangan di semua sektor, kurangnya rasa aman, dan lain sebagainya. Bila umat islam Indonesia benar-benar mencerminkan sikap hidup yang Islami, pasti bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera.

2.7 MASYARAKAT MADANI INDONESIA

Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternative yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia. Konsep masyarakat madani menjadi alternative pemecahan, dengan pemberdayaan dan penguatan daya control masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang akhirnya nanti terwujud kekuatan masyarakat yang mampu merealisasikan dan menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.
Berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari sosial control.Secara esensial Indonesia memang membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.Menurut Dawan ada tiga strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyrakat madani Indonesia.

1. Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik. Strategi ini
berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat
yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
2. Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi. Strategi ini
berpandangan bahwa untuk membangun ekonomi.
3. Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat kearah
demokratisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar